Malam ini aku berdiri di Jembatan Pasar Gede Harjonagoro. Hanya beberapa langkah dari Tugu 0 Kilometer Surakarta, tapi dunia di sini sudah berubah jadi panggung raksasa yang ramai, riuh, dan bercahaya.
Lampu-lampu kuning kecil menjuntai dari kabel-kabel yang menyeberangi langit, bergelantungan seperti hujan cahaya yang lupa jatuh. Lampion warna-warni berkibar heboh diterpa angin dan suara orang-orang—merah, ungu, kuning, jingga—beradu dengan tawa, klakson, dan teriakan penjual es. Di antara semua itu, bentuk bunga teratai merah menyala terang, seperti lambang diam yang menolak tenggelam dalam keramaian.
Tiang putih berdiri gagah, menopang tiga lampu besar yang menyinari jalan seperti menyorot panggung. Di bawahnya, motor-motor berderet begitu rapat hingga hampir tak ada ruang tersisa. Lampu mereka menyala, sen akan ke kiri, ada yang berkelip-kelip seperti ingin ikut pesta. Mesin meraung, knalpot berdesis, klakson menyalak, semua berlomba jadi suara paling keras.
Trotoar dipenuhi orang-orang. Langkah kaki cepat. Ada yang membawa anak, ada yang menarik tangan pasangannya, ada pula yang berdiri mematung memotret kerlap-kerlip lampion, mulut mereka terbuka dalam kekaguman, atau kelelahan. Bau sate, kopi, dan parfum berbaur menjadi udara kota malam ini—padat tapi hidup.
Pot-pot tanaman tetap berdiri di pinggir jalan, mencoba tenang di tengah hiruk-pikuk manusia dan suara. Mereka seperti biksu tua yang sudah terbiasa dengan hiruk, tak ikut gaduh, tapi tak pernah benar-benar pergi.
Aku berdiri di sini, di tengah keramaian yang seperti tidak punya ujung. Tapi di antara suara-suara, lampu-lampu, dan manusia yang berlalu-lalang, aku merasa disambut. Surakarta malam ini bukan kota yang diam—ia adalah orkestra penuh warna yang memeluk semua yang datang, bahkan yang hanya singgah sebentar.