Sore tadi, langit di atas kantor kami tampak seperti wajah guru matematika waktu mengoreksi ulangan murid-murid kampung — kelam, mengandung amarah, tapi masih menyimpan sedikit belas kasihan. Angin bertiup pelan, membawa aroma hujan yang belum sempat turun, seperti janji manis yang digantung terlalu lama. Gedung kantorku berdiri gagah seperti pejabat yang baru diangkat — tinggi, berkilau, penuh wibawa yang terbuat dari kaca dan anggaran negara. Arsitekturnya kokoh tidak mirip wajah-wajah letih yang menyambut Senin seperti menyambut utang yang belum lunas.
Aku bekerja di sana. Di antara manusia-manusia hebat yang menertawakan hidup lewat obrolan ruang kerja, aku hanyalah pegawai biasa saja. Tapi aku bangga. Sebab di kantor ini, aku bukan sekadar nomor induk pegawai. Aku adalah satu-satunya yang bisa menyalakan speaker dengan cara menepuk-nepuknya seperti dukun menyembuhkan pasien. Setiap pagi, aku datang dengan sepeda, kecuali sedang malas mengayuh. Aku parkir di bawah tempat parkir basement yang sudah tua dan tampaknya juga ikut stres karena deadline. Di tempat itu, sepedaku berdiri miring, mirip pemiliknya yang belum gajian.
Kantor ini tidak pernah benar-benar tidur. Di malam hari, lampu-lampunya menyala remang seperti kenangan masa kecil. Terkadang aku pulang larut, dan dari balik jendela, kulihat bayangan-bayangan karyawan lain yang masih bekerja, seperti siluet para pejuang di balik tirai nasib birokrasi. Aku mencintai kantor ini — dengan cara yang tidak masuk akal tapi sungguh-sungguh. Ada hari-hari ketika aku ingin berhenti, lalu ingat cicilan. Ada hari-hari ketika aku ingin protes, lalu ingat anak yang ingin sekolah di TK favoritnya. Jadi aku terus datang, duduk di mejaku, dan menulis laporan dengan semangat yang ditambal kopi dan doa-doa ibu mertua di Kalimantan.