Aku tidak sedang terburu-buru siang itu. Hanya menyetir pelan, seperti biasa, di jalanan Sukoharjo yang lengang dan teduh. Di radio, suara penyiar berganti lagu-lagu dangdut lawas yang bahkan tidak aku kenali, dan di langit, awan menggantung seperti paragraf-paragraf yang belum selesai ditulis Tuhan.
Lalu aku melihatnya. Truk kuning. Tinggi besar, warnanya seperti matahari yang sudah berumur. Badannya pegal oleh jarak, wajah belakangnya penuh debu, stiker, dan retakan waktu. Tapi yang paling membuatku berhenti berpikir adalah tulisan di belakangnya, huruf demi huruf seperti dilukis oleh tangan seseorang yang tidak main-main: “Banter nguyak sopo, alon ngenteni sopo.”
Aku tertawa pelan. Bukan karena lucu. Tapi karena tidak tahu harus apa. Cepat mengejar siapa? Pelan menunggu siapa? Seketika, kalimat itu mengalir ke dalamku seperti sungai sunyi yang sudah lama tidak dikunjungi. Rasanya seperti mendengar suara dari masa lalu. Suara bapak-bapak di warung kopi, atau guru bahasa Jawa di sekolah dasar, atau bahkan suara yang kita pikir sudah hilang, padahal diam-diam tinggal di pojok hati.
Aku menatap truk itu terus. Seolah-olah ia sedang mengajakku bicara, meski tanpa suara. Truk itu tidak menyalip, tidak pula tergesa. Ia berjalan seperti hidup berjalan—terkadang cepat, sering kali lambat, tapi tak pernah benar-benar berhenti. Ia seperti sedang berkata kepadaku: tidak perlu memaksakan segalanya. Karena terkadang, yang kita kejar pun belum tentu sedang menunggu kita.
Dan saat itulah aku merasa sedang berada di tengah-tengah novel yang tidak sengaja kutulis sendiri. Novel yang isinya hanya satu kalimat di bagian belakanh truk, tapi rasanya lebih penuh dari seribu halaman buku filsafat. Siang itu, untuk pertama kalinya aku merasa: mungkin makna hidup tidak berada di gunung yang tinggi atau kota yang jauh. Mungkin, makna hidup sedang duduk tenang di tengah kemacetan karena perbaikan Jalan, terpaku di belakang truk kuning, menunggu, membaca dan mengerti.