Sungguh, aku merasa jembatan merah ini seperti komidi putar raksasa yang beku di tengah kota. Melengkung anggun bagai alis bidadari, terbentang gagah di antara kesibukan kota yang berderap.
Hari ini, aku berdiri tepat di bawahnya. Matahari memelototi dunia dengan mata tunggalnya yang cemerlang, menembus awan-awan yang berarak bagai domba-domba pencari rumput di padang langit. Ah, betapa matahari ini tampak seperti kelereng cahaya yang tersesat di benang layangan awan.
Jembatan merah ini, rangkanya bersilangan bagai teka-teki matematika yang rumit namun indah. Setiap batang besi yang bertemu, seakan bercerita tentang ilmu mekanika yang tak pernah kupahami di bangku sekolah dahulu. Aku hanya sepotong debu di hadapan kemegahannya yang menjulang.
Seorang pengendara motor melaju di bawah lindungan bayangnya. Aku membayangkan dalam sekejap mata, apa yang ia lihat ketika mendongak? Apakah ia merasakan juga ketakjuban yang sama? Ataukah baginya, jembatan merah ini hanyalah sebuah penggalan dari rutinitas harian yang membosankan?
Trotoar berbentuk segi enam di bawah kakiku mengingatkanku pada sarang lebah. Warnanya merah muda pucat, abu-abu, dan pita kuning yang membujurku untuk terus melangkah maju. Seperti kehidupan ini, kadang kita hanya perlu mengikuti jalur yang sudah ditentukan.
Jika bisa kugenggam keindahan ini dalam kepalan tanganku dan kubawa pulang, akan kujadikan ia sebagai jimat pembawa semangat di hari-hari ketika langit hatiku mendung dan kelabu.