Setiap tanggal 21 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Reformasi Nasional, sebuah momentum krusial yang menandai berakhirnya rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun di bawah Presiden Soeharto dan dimulainya era baru yang lebih demokratis. Peristiwa bersejarah ini melambangkan perjuangan kolektif rakyat dalam menuntut perubahan fundamental menuju pemerintahan yang lebih transparan, berkeadilan, dan partisipatif. Ini adalah pengingat bahwa perubahan besar dapat terwujud ketika rakyat bersatu dan menyuarakan aspirasinya.
Meskipun 21 Mei memiliki makna yang sangat mendalam bagi Indonesia, tanggal ini juga diperingati secara global untuk berbagai tujuan lain. Secara internasional, 21 Mei dikenal sebagai Hari Teh Internasional, Hari Meditasi Sedunia, dan Hari Keanekaragaman Budaya Dunia. Kontras antara peringatan nasional yang sarat sejarah dan peringatan internasional yang lebih universal ini menyoroti keunikan dan dampak mendalam dari 21 Mei bagi bangsa Indonesia. Sementara dunia merayakan kenikmatan secangkir teh atau kedamaian batin melalui meditasi, Indonesia mengenang pergeseran fundamental dalam lanskap politiknya, sebuah perjuangan untuk demokrasi yang membentuk identitas modernnya. Perbedaan ini mempertegas narasi sejarah yang spesifik dan resonan di Indonesia, membedakannya dari perayaan global yang lebih umum.
Gerakan Reformasi 1998 tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sebagai respons terhadap akumulasi krisis multidimensi yang melanda Indonesia. Krisis-krisis ini, yang saling terkait dan memperparah satu sama lain, pada akhirnya mengikis legitimasi pemerintahan Orde Baru dan memicu tuntutan perubahan yang tak terbendung.
Salah satu latar belakang utama Reformasi adalah krisis ekonomi parah yang melanda Indonesia pada akhir tahun 1997, yang merupakan bagian integral dari krisis moneter Asia. Krisis ini ditandai dengan anjloknya nilai tukar rupiah secara drastis terhadap dolar AS, dari sekitar Rp 2.000 per dolar AS pada Juni 1997 menjadi di atas Rp 16.000 per dolar AS pada Juni 1998, menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot hingga 0 persen.
Inflasi melonjak tajam, harga kebutuhan pokok (sembako) naik tidak terkendali dan menipis di pasaran, menyebabkan biaya hidup masyarakat meningkat tajam. Tingkat pengangguran juga meningkat drastis, dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998, seiring dengan banyaknya perusahaan yang tutup atau melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal. Pemerintah bahkan terpaksa melikuidasi 16 bank bermasalah pada akhir 1997 dan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk mengawasi 40 bank bermasalah lainnya. Penyebab krisis ekonomi ini juga dikaitkan dengan utang negara yang menumpuk, penyimpangan Pasal 33 UUD 1945, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang sistemik.
Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dikenal dengan corak otoriter, sentralistik, dan kurang transparan. Krisis politik ini ditandai oleh kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilihan Umum 1997 yang dinilai penuh kecurangan, serta manipulasi sistem yang memungkinkan Soeharto terus memperkuat kekuasaannya. Demokrasi tidak berjalan semestinya; kedaulatan rakyat terabaikan, dengan sebagian besar anggota MPR diangkat melalui sistem kekeluargaan (nepotisme), yang mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga perwakilan. Pembatasan kebebasan sipil, kebebasan pers, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang meluas menimbulkan rasa ketidakadilan dan memicu ketidakpuasan di kalangan masyarakat.
Ketidakadilan di bidang hukum merajalela pada era Orde Baru, terutama terkait kekuasaan kehakiman. Meskipun Pasal 24 UUD 1945 menyatakan bahwa hakim harus independen dari kekuasaan eksekutif, pada kenyataannya mereka berada di bawah kendali pemerintah. Kondisi ini memicu tuntutan rakyat untuk melakukan reformasi terhadap aparat penegak hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan praktik hukum lainnya demi tegaknya supremasi hukum.
Krisis kepercayaan merupakan akibat langsung dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang telah berlangsung lama dan merajalela di berbagai sektor, termasuk parlemen, kehakiman, dunia usaha, perbankan, dan peradilan. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah memuncak, menjadi faktor krusial yang memicu gelombang tuntutan perubahan yang tak terbendung.
Krisis ekonomi, yang ditandai dengan depresiasi rupiah yang parah dan lonjakan harga, menjadi pemicu yang paling terlihat. Namun, dampak merusaknya diperparah secara signifikan oleh kelemahan struktural yang sudah ada dalam rezim Orde Baru. Sistem politik yang otoriter, kurangnya independensi yudisial, dan praktik KKN yang merajalela telah mengikis kepercayaan publik selama beberapa dekade. Ketika krisis ekonomi melanda, itu tidak hanya menyebabkan kesulitan, tetapi juga mengungkap ketidakabsahan dan kerapuhan mendasar dari sistem yang sudah dianggap korup dan tidak adil. Oleh karena itu, krisis kepercayaan tidak hanya menjadi masalah tambahan, tetapi juga efek pengganda, mengubah ketidakpuasan ekonomi menjadi tuntutan luas dan mendesak untuk perubahan rezim yang fundamental, bukan sekadar penyesuaian kebijakan. Ini menunjukkan hubungan sinergis yang kompleks di mana kegagalan ekonomi berfungsi sebagai katalis utama, menyingkap dan memperburuk patologi sistemik politik dan hukum, yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya kepercayaan publik secara total dan runtuhnya otoritas rezim.
Perjalanan menuju 21 Mei 1998 adalah serangkaian peristiwa yang cepat dan saling terkait, yang mencapai puncaknya dengan pengunduran diri Presiden Soeharto.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan elemen masyarakat lainnya menjadi pelopor dan garda terdepan gerakan rakyat. Mereka turun ke jalan, memenuhi kampus, dan menduduki gedung parlemen, secara konsisten menuntut pengunduran diri Soeharto dan reformasi sistem pemerintahan. Gerakan ini mendapatkan momentum yang tak terbendung seiring dengan memburuknya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997.
Pada 12 Mei 1998, sebuah aksi damai yang dilakukan mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta dibalas dengan tembakan aparat keamanan. Peristiwa brutal ini menyebabkan gugurnya empat mahasiswa: Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Tragedi Trisakti bukan hanya insiden terpisah, melainkan menjadi titik balik krusial dan pemicu kemarahan nasional yang meluas, memperbesar gelombang demonstrasi di seluruh Indonesia.
Peristiwa Trisakti bukan sekadar protes atau bentrokan biasa; itu adalah respons negara yang brutal dan tidak proporsional terhadap demonstrasi damai, yang melampaui batas moral dan politik yang kritis. Pembunuhan mahasiswa tak bersenjata oleh aparat keamanan secara instan memicu kemarahan publik di seluruh negeri, mengubah ketidakpuasan yang luas tetapi menyebar menjadi gerakan massa yang tak terhentikan dan sarat emosi. Tindakan kekerasan negara ini secara mendalam menghilangkan legitimasi rezim, tidak hanya di mata rakyat tetapi juga di kalangan elit politik dan militer sendiri, sebagaimana dibuktikan oleh pembelotan yang terjadi kemudian. Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi setelahnya, meskipun tragis dan kacau, merupakan konsekuensi langsung dari kemarahan yang meningkat ini dan cepatnya kerusakan kontrol negara, menciptakan lingkungan ketidakstabilan ekstrem yang membuat Soeharto tidak dapat lagi mempertahankan kekuasaannya. Dengan demikian, Trisakti bertindak sebagai katalisator yang kuat, mengubah frustrasi publik yang laten menjadi tekanan aktif, luar biasa, dan pada akhirnya berhasil untuk perubahan rezim yang fundamental.
Kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti memicu serangkaian kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan massal yang terjadi di Jakarta dan berbagai daerah lain pada 13-15 Mei 1998. Kerusuhan ini menelan ribuan korban jiwa, menyebabkan banyak luka-luka, terjadi aksi kekerasan seksual yang mengerikan (terutama terhadap perempuan etnis Tionghoa), dan mengakibatkan hilangnya sejumlah orang. Selain itu, kerugian materi yang sangat besar juga terjadi akibat kerusakan dan penjarahan.
Pada 18 Mei 1998, Ketua DPR/MPR Harmoko secara resmi menyampaikan desakan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri demi persatuan dan kesatuan bangsa. Meskipun pernyataan ini awalnya dibantah oleh Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto sebagai sikap individual, desakan dari berbagai pihak terus menguat. Tekanan semakin memuncak ketika ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR, secara simbolis mengambil alih pusat kekuasaan legislatif. Puncaknya, empat belas menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri secara bersamaan, menunjukkan hilangnya dukungan dari lingkaran terdekat Soeharto dan melemahnya fondasi pemerintahannya.
Pada pagi hari 21 Mei 1998, tepat pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto akhirnya menyampaikan pidato pengunduran dirinya secara resmi di Istana Merdeka, setelah 32 tahun berkuasa. Seketika itu juga, tongkat kekuasaan diserahkan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie, menandai berakhirnya era Orde Baru dan dimulainya era Reformasi.
Legitimasi kekuasaan otoriter Soeharto yang telah lama berdiri didasarkan terutama pada stabilitas ekonomi dan pembangunan. Krisis ekonomi tahun 1997 secara fundamental mengikis legitimasi dasar ini, karena rezim tidak lagi mampu memenuhi janji intinya tentang kemakmuran. Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi kemudian mengungkap kebrutalan rezim dan ketidakmampuannya untuk menjaga ketertiban, lebih jauh menghancurkan kepercayaan publik dan keyakinan internasional. Titik balik kritis adalah pembelotan internal dari elit politik kunci, terutama Harmoko (Ketua DPR/MPR) dan pengunduran diri massal yang belum pernah terjadi sebelumnya dari 14 menteri. Hal ini menunjukkan bahwa Soeharto telah kehilangan tidak hanya dukungan rakyat tetapi, yang lebih penting, kepercayaan dan loyalitas aparatur politiknya sendiri dan lingkaran dalamnya. Upaya awal militer untuk menolak pernyataan Harmoko terbukti sia-sia di tengah gelombang tekanan publik dan elit yang luar biasa. Pengunduran dirinya, oleh karena itu, bukanlah tindakan kenegarawanan yang sukarela, melainkan kapitulasi paksa karena erosi legitimasi rezim yang lengkap dan tidak dapat diubah serta hilangnya dukungan internal yang krusial, membuat pemerintahan lebih lanjut menjadi tidak mungkin. Ini menyoroti bagaimana bahkan rezim otoriter yang sangat mapan dapat runtuh ketika pilar-pilar inti legitimasinya (kinerja ekonomi, kepercayaan publik, dan loyalitas elit) secara bersamaan runtuh.
Gerakan Reformasi, yang pada awalnya dimotori oleh mahasiswa, mengajukan enam tuntutan utama yang menjadi agenda perubahan fundamental bagi Indonesia. Tuntutan ini berkembang dari yang semula sederhana, seperti "Turunkan harga," menjadi serangkaian agenda yang lebih luas dan sistemik, mencerminkan pemahaman mendalam tentang akar masalah bangsa.
Kedalaman dan cakupan tuntutan ini menunjukkan bahwa gerakan Reformasi jauh lebih ambisius daripada sekadar mengganti Presiden Soeharto atau mengatasi krisis ekonomi yang mendesak. Gerakan ini mewakili visi yang holistik dan sistemik untuk Indonesia yang secara fundamental berbeda. Dengan menargetkan amandemen konstitusi, dwifungsi militer, independensi yudisial, dan KKN yang merajalela, para reformis berusaha merekayasa ulang fondasi negara. Tujuan mereka adalah membongkar pilar-pilar struktural Orde Baru yang otoriter untuk mencegah kembalinya pemerintahan serupa dan membangun masa depan yang lebih adil, demokratis, dan akuntabel. Prioritas "penegakan supremasi hukum" dan "penciptaan pemerintahan yang bersih dari KKN" menunjukkan bahwa para reformis memahami hal-hal ini sebagai prasyarat struktural paling kritis untuk kemajuan nasional yang bermakna dan berkelanjutan. Tanpa integritas institusional dan komitmen terhadap keadilan, reformasi lainnya, seperti kebebasan politik, pada akhirnya akan hampa atau tidak berkelanjutan. Ini menunjukkan pemahaman yang canggih oleh gerakan bahwa perubahan dangkal tidak akan cukup; reformasi sistemik yang mendalam diperlukan untuk transformasi sejati.
Berikut adalah penjelasan mendalam setiap agenda:
- Adili Soeharto dan Kroni-kroninya: Tuntutan ini bertujuan untuk menegakkan keadilan dan meminta pertanggungjawaban hukum bagi mantan Presiden Soeharto dan lingkaran terdekatnya atas praktik KKN serta penyalahgunaan kekuasaan yang masif selama Orde Baru.
- Amandemen UUD 1945: Agenda ini krusial untuk memastikan kepastian hukum di masa depan dan membatasi kekuasaan eksekutif yang terlalu dominan. Salah satu hasil signifikan dari tuntutan ini adalah pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi maksimal dua periode.
- Penghapusan Dwifungsi ABRI: Menuntut penghapusan peran ganda Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang mencakup fungsi militer dan sosial-politik. Peran ganda ini dianggap rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan menyebabkan ABRI tidak berpihak pada masyarakat sipil. ABRI diharapkan untuk fokus hanya pada fungsi pertahanan dan keamanan negara.
- Otonomi Daerah yang Seluas-luasnya: Mendorong desentralisasi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia dan memungkinkan setiap daerah mengembangkan potensinya sendiri, mengatasi ketimpangan pembangunan yang cenderung Jawa-sentris pada masa Orde Baru.
- Penegakan Supremasi Hukum: Menuntut penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu bagi semua warga negara, mengakhiri praktik hukum yang "tajam ke bawah dan tumpul ke atas" yang terjadi pada era Orde Baru.
- Penciptaan Pemerintah yang Bersih dari KKN: Agenda ini merupakan inti dari tuntutan reformasi, yaitu membasmi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah mengakar dan terstruktur secara masif dalam pemerintahan Orde Baru.
Reformasi 1998 membawa perubahan signifikan dalam lanskap politik, sosial, dan ekonomi Indonesia, dengan dampak positif dan negatif yang kompleks.
Dampak langsung Reformasi adalah berakhirnya 32 tahun kekuasaan Orde Baru dan penetapan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden menjadi maksimal dua periode, sebuah langkah krusial untuk mencegah sentralisasi kekuasaan. Pembatasan kebebasan pers yang ketat pada era Orde Baru dicabut, membuka era kebebasan berekspresi yang jauh lebih luas. Media menjadi lebih bebas untuk menyuarakan pendapat dan mengkritik pemerintah. Penerbitan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999 menjadi tonggak penting yang menjamin kebebasan pers sebagai hak asasi warga negara.
Sistem pemilihan umum diubah secara fundamental untuk memastikan kebebasan dan keadilan. Rakyat kini dapat memilih langsung presiden, wakil presiden, anggota legislatif, hingga kepala daerah. Sistem multipartai diaktifkan kembali, memungkinkan munculnya banyak partai politik baru setelah sebelumnya hanya tiga partai yang diizinkan. Kekuasaan didesentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah melalui kebijakan otonomi daerah, memberikan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dalam mengelola urusan mereka sendiri. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diperkuat untuk meningkatkan fungsi pengawasan dan legislasi. Selain itu, dibentuk lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendukung demokrasi dan reformasi, serta memperkuat supremasi hukum. Peristiwa Reformasi juga mempengaruhi perubahan sosial yang signifikan, dengan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap hak asasi manusia, kebebasan berpendapat, dan partisipasi politik. Masyarakat menjadi lebih kritis terhadap pemerintah dan lebih aktif dalam menyuarakan aspirasi mereka.
Di sisi lain, periode segera setelah runtuhnya Orde Baru menampilkan paradoks yang mencolok: pembebasan dari kontrol otoriter, meskipun mencapai kebebasan yang diinginkan, secara bersamaan melepaskan periode kekacauan mendalam dan penderitaan manusia. Kerusuhan Mei 1998 yang menjadi bagian tak terpisahkan dari Reformasi menelan ribuan korban jiwa, menyebabkan banyak luka-luka, dan terjadi aksi kekerasan seksual yang mengerikan (terutama terhadap perempuan etnis Tionghoa). Sejumlah orang juga dilaporkan hilang dan nasibnya tidak diketahui hingga kini. Tindakan perusakan, penjarahan, dan pembakaran yang terjadi selama kerusuhan menyebabkan kerugian materi yang sangat besar di berbagai kota. Hal ini memperburuk kondisi perekonomian negara yang sudah terpuruk, mengakibatkan banyak bisnis tidak dapat beroperasi dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Ini menunjukkan bahwa penghapusan tiba-tiba struktur kekuasaan yang sangat terpusat, meskipun menindas, tanpa mekanisme keadilan transisional yang kuat, kontrol negara yang efektif, atau supremasi hukum yang segera dapat ditegakkan, dapat menciptakan kekosongan kekuasaan yang berbahaya. Kekosongan ini dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor oportunistik, menyebabkan anarki yang meluas, kekerasan yang ditargetkan (misalnya, terhadap etnis minoritas), dan gangguan sosial lebih lanjut. Ini menyoroti bahwa jalan menuju demokrasi jarang linier atau murni positif, seringkali melibatkan periode yang menyakitkan dan kompleks di mana kebebasan yang baru ditemukan terjalin dengan ketidakstabilan, keluhan yang belum terselesaikan, dan munculnya bentuk-bentuk kekerasan baru.
Lebih dari dua dekade setelah Reformasi 1998, evaluasi terhadap implementasi agendanya menunjukkan capaian yang signifikan, namun juga keterbatasan dan tantangan yang masih harus dihadapi.
Meskipun pemberantasan KKN menjadi agenda fundamental Reformasi, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih merajalela, bahkan melanda berbagai tingkatan pemerintahan dan generasi muda pemegang kekuasaan. Upaya untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus terjadi, dan bahkan ada kasus pungli di internal KPK itu sendiri. Implementasi supremasi hukum juga masih menghadapi tantangan besar. Hukum seringkali dipersepsikan "tajam ke bawah dan tumpul ke atas," dengan adanya indikasi jual beli perkara di lembaga penegak hukum. Banyak kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk Tragedi Mei 1998, masih menggantung dan belum terselesaikan, menunjukkan impunitas bagi para pelaku.
Indonesia telah berhasil membangun kerangka demokrasi prosedural yang kuat, ditandai dengan pemilu berkala, kebebasan berpendapat, dan sistem multipartai. Namun, transformasi menuju demokrasi substantif masih menghadapi hambatan serius seperti politik uang, dinasti politik, dan klientelisme yang mengikis kualitas demokrasi. Indeks Demokrasi Indonesia bahkan menunjukkan penurunan kualitas dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun otonomi daerah bertujuan mendesentralisasi kekuasaan, implementasinya kadang memunculkan fenomena "raja-raja kecil" di daerah yang tidak sedikit tertangkap oleh KPK karena penyalahgunaan wewenang. Secara formal dwifungsi ABRI telah dihapus dan peran militer dalam politik dikurangi, namun watak militerisme belum hilang 100%, dan masih ada usaha militer untuk kembali menunjukkan kekuasaannya dalam ranah sipil.
Tantangan yang terus-menerus ini, seperti KKN yang merajalela, penegakan hukum yang selektif, dinasti politik, oligarki, dan kemunduran kebebasan sipil, menunjukkan bahwa masalah yang ingin dipecahkan oleh Reformasi bukan hanya produk dari pemerintahan otoriter Soeharto secara individual. Sebaliknya, masalah-masalah ini tertanam dalam struktur, budaya, dan institusi politik dan masyarakat Indonesia. Meskipun rezim telah berganti, struktur insentif dan dinamika kekuasaan yang mendorong korupsi, penguasaan oleh elit, dan kecenderungan otoriter sebagian besar tetap ada atau beradaptasi dengan kerangka demokrasi yang baru. Ini menyiratkan bahwa pencapaian demokrasi yang substantif tidak hanya membutuhkan reformasi hukum dan institusional (yang sebagian besar telah dicapai secara prosedural), tetapi juga pergeseran budaya yang mendalam dan perjuangan yang berkelanjutan dan waspada terhadap kepentingan yang mengakar dan patologi sistemik. Penilaian "demokrasi cacat" dan sentimen "pengkhianatan reformasi" menggarisbawahi kesenjangan signifikan antara cita-cita luhur tahun 1998 dan realitas implementasinya yang kompleks dan seringkali mengecewakan. Ini menyoroti bahwa perjuangan untuk Indonesia yang benar-benar adil, setara, dan demokratis adalah upaya berkelanjutan, multi-generasi yang melampaui transisi politik awal.
Peristiwa Mei 1998 secara umum dianggap sebagai lembaran hitam dalam sejarah Indonesia, sebuah tragedi yang memakan banyak korban. Beberapa pihak, terutama dari komunitas etnis Tionghoa, berpendapat bahwa peristiwa ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap mereka, meskipun interpretasi ini masih menjadi kontroversi di kalangan sejarawan dan masyarakat. Trauma dan diskriminasi yang membekas pada komunitas ini masih menjadi isu yang relevan.
Ada pandangan kritis bahwa semangat reformasi telah "dikorupsi" atau "melemah," dengan arah politik yang kembali mengarah pada otoritarianisme, seperti terlihat dari pelemahan KPK dan maraknya politik identitas. Beberapa analisis kontroversial bahkan melihat Reformasi 1998 sebagai hasil dari "perang asimetris" di mana bangsa Indonesia kalah. Sasaran perang non-militer ini meliputi pembelokan sistem negara, pelemahan ideologi, dan penghancuran ketahanan pangan/energi untuk menciptakan ketergantungan. Makna reformasi itu sendiri kompleks dan kontroversial, dengan berbagai aktor politik dan kelompok masyarakat memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai "alat" atau "slogan klise" semata, sementara yang lain melihatnya sebagai epik sejarah. Tidak ada pihak yang sepenuhnya lepas dari pertanyaan benar-salah dalam konteks sosial yang kompleks dan penuh ketidakpastian.
Indonesia saat ini menghadapi tantangan kontemporer yang mengancam semangat Reformasi. Maraknya politik identitas menjelang pemilihan umum menjadi ancaman serius, bertentangan dengan amanat reformasi yang menjunjung kesetaraan dan pluralisme. Oligarki masih mendominasi ekonomi politik, mengendalikan akses terhadap sumber daya dan kebijakan negara, yang menghambat pemerataan kesejahteraan. Kecenderungan regresi kebebasan sipil dan ancaman terhadap kebebasan pers serta independensi institusi yudisial masih menjadi perhatian serius. Isu intoleransi berbasis agama dan etnis juga masih menjadi tantangan bagi pluralisme sosial yang dijanjikan oleh Reformasi.
Hari Reformasi Nasional mengingatkan bahwa perubahan besar dapat terjadi ketika rakyat bersatu dan bersuara, menjadikan semangat ini sebagai kompas moral dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Peringatan ini bukan hanya sekadar mengenang peristiwa politik, tetapi juga sebagai penghargaan atas perjuangan dan pengorbanan rakyat serta mahasiswa yang berani menuntut keadilan dan tata kelola negara yang lebih baik. Semangat reformasi harus terus dijaga sebagai kompas moral dalam membangun Indonesia yang lebih baik.
Pesan yang konsisten ini secara fundamental mendefinisikan ulang Reformasi dari peristiwa sejarah tunggal yang telah selesai (jatuhnya Soeharto) menjadi proses pembangunan nasional dan konsolidasi demokrasi yang berkelanjutan, dinamis, dan berulang. Ini menyiratkan bahwa demokrasi bukanlah titik akhir statis yang dicapai pada 21 Mei 1998, melainkan perjuangan berkelanjutan melawan tantangan yang terus-menerus (misalnya, KKN, politik identitas, oligarki) dan munculnya ancaman baru terhadap cita-cita demokrasi. Metode peringatan yang disarankan—seperti membaca sejarah, terlibat dalam diskusi terbuka, dan mengunjungi situs-sjarah—memperkuat gagasan bahwa Reformasi adalah sejarah hidup yang menuntut refleksi konstan, evaluasi kritis, dan partisipasi aktif dari warga negara, terutama generasi muda. Perspektif ini mengubah peringatan sejarah menjadi ajakan proaktif untuk bertindak, mendesak kewaspadaan dan upaya berkelanjutan untuk menjaga dan memperdalam nilai-nilai demokrasi, memastikan bahwa pengorbanan yang dilakukan tidak sia-sia dan bahwa cita-cita Reformasi terus membimbing masa depan Indonesia.
Masyarakat sipil, media, dan generasi muda memiliki peran krusial dalam menjaga semangat reformasi dan mengawal terwujudnya demokrasi substantif di Indonesia. Partisipasi aktif dalam ruang-ruang demokrasi menjadi kunci agar agenda reformasi tetap hidup, berkembang, dan tidak dikhianati. Mahasiswa, sebagai agen perubahan sejarah, didorong untuk terus menularkan nilai-nilai kesetaraan, demokrasi, dan menolak politik identitas, karena perjuangan untuk mencapai cita-cita reformasi belum selesai.
Untuk memperingati Hari Reformasi Nasional dan menjaga semangatnya, berbagai cara dapat dilakukan. Ini termasuk membaca dan mempelajari sejarah reformasi Indonesia secara mendalam melalui buku, artikel, atau menonton dokumenter untuk memahami perjuangan yang telah dilakukan. Mengadakan diskusi terbuka mengenai makna reformasi Indonesia, relevansinya saat ini, dan tantangan ke depan juga penting. Selain itu, mengunjungi museum atau situs sejarah yang menyimpan jejak perjuangan reformasi, seperti Museum Trisakti di Jakarta, dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam. Terakhir, membuat dan menyebarkan twibbon atau konten edukatif di media sosial dapat meningkatkan kesadaran publik tentang Hari Reformasi Nasional.
Hari Reformasi Nasional pada 21 Mei adalah pengingat akan titik balik krusial dalam sejarah Indonesia, yang menandai transisi dari rezim otoriter Orde Baru menuju era demokrasi. Kelahiran Reformasi dipicu oleh krisis multidimensi—ekonomi, politik, hukum, dan kepercayaan—yang saling memperparah dan mengikis legitimasi pemerintahan Soeharto. Tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei 1998 menjadi katalisator yang mengubah ketidakpuasan menjadi gerakan massa tak terbendung, memaksa pengunduran diri Soeharto.
Meskipun Reformasi telah membawa banyak kemajuan, seperti kebebasan pers, pemilu yang lebih demokratis, desentralisasi kekuasaan, dan pembentukan lembaga anti-korupsi, banyak agenda fundamentalnya masih belum tuntas. Pemberantasan KKN dan penegakan supremasi hukum masih menghadapi tantangan besar, dan kualitas demokrasi substantif masih perlu diperkuat. Berbagai perspektif dan kontroversi seputar Reformasi, termasuk dampak tragisnya terhadap korban dan kritik terhadap implementasinya, menunjukkan kompleksitas warisan peristiwa ini.
Oleh karena itu, Reformasi harus dipandang sebagai proses berkelanjutan, bukan sekadar peristiwa masa lalu. Menjaga semangatnya memerlukan refleksi kritis, pembelajaran dari sejarah, serta partisipasi aktif dari masyarakat sipil, media, dan generasi muda. Hanya dengan terus mengawal dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan, transparansi, dan demokrasi, Indonesia dapat mewujudkan cita-cita luhur Reformasi dan membangun masa depan yang lebih baik.
Referensi:
Margiyanti, R. (2025, April 25). Sejarah Latar Belakang Reformasi, Lahir, Ciri, dan Agendanya. Tirto.id.(
https://tirto.id/sejarah-latar-belakang-lahirnya-reformasi-ciri-dan-agendanya-gETX)
Ruangguru. (2024, Mei 8). Mengenal Masa Reformasi di Indonesia. Ruangguru.
https://www.ruangguru.com/blog/mengenal-masa-reformasi-di-indonesia
Merdeka.com. (2018). 5 Peristiwa terjadi sebelum Soeharto mundur 21 Mei 1998. Merdeka.com.
https://www.merdeka.com/peristiwa/5-peristiwa-terjadi-sebelum-soeharto-mundur-21-mei-1998.html