Ruang Tunggu, Rasa Syukur


Pagi ini, aku kembali menjejakkan kaki ke dunia. Dunia yang harum alkohol medis dan denting mesin antrian yang terdengar seperti lonceng gereja kecil di tengah hutan belantara. Klinik Pratama Griya Sehat, namanya. Dari luar tampak seperti bangunan biasa, tapi di dalamnya tersimpan ribuan rahasia tubuh manusia yang lelah, ringkih, dan nyaris hilang kendali tapi selalu mencoba utuh kembali.

Tangan kananku menggenggam selembar kertas putih. Tiket antrian. A-1-047. Angka yang biasa saja bagi dunia, tapi bagiku, itu adalah simbol kebangkitan. Seperti bendera kecil yang dikibarkan di tengah medan perang oleh prajurit terakhir yang tersisa. Angka itu adalah pengakuan diam-diam dari semesta bahwa aku belum kalah.

Beberapa hari sebelumnya, aku terbaring di ranjang rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta, tubuhku menjadi negeri jajahan bagi tiga penjajah tanpa belas kasih: demam thypoid, bronkopneumonia dan diare akut. Mereka menyerang tanpa permisi, membakar tubuhku dari dalam, membuatku terhuyung seperti daun jambu dihempas angin sore. Tapi aku di sini sekarang. Masih hidup. Masih bisa mengantre.

Jam di tiket itu tertulis: 10:23:05. Lima detik terakhir entah mengapa membuatku tercekat. Lima detik—seperti detik terakhir lonceng berbunyi sebelum kelas dimulai, seperti lima detik mata Ibu menatapku dari pintu sebelum aku berangkat ke perantauan di Kalimantan. Lima detik yang sunyi, tapi terasa panjang dan penuh makna.

Orang-orang di sekelilingku duduk diam, seperti barisan kenangan. Seorang anak laki-laki memainkan sandal ibunya. Seorang bapak tua terlelap sambil menggenggam surat rujukan. Kami semua adalah pasukan luka, pasukan yang sedang menyulam sehat dari benang-benang harapan.

Ketika suara dari pengeras itu menyebut, “Nomor A-1-047, silakan masuk,” aku berdiri. Tidak, tidak berdiri. Aku bangkit. Karena untuk orang-orang seperti kami, berdiri itu semacam keajaiban kecil. Seperti bunga matahari yang tetap tumbuh di pekarangan yang tandus. Hari ini aku tidak hanya pergi ke dokter. Aku kembali menyapa hidup.