Seperti Puisi Tiga Kata yang Ditulis Langsung oleh Langit


Aku menyelesaikan menulis buku di rumah sakit. Ya, di rumah sakit, tempat orang berusaha sembuh dan Tuhan kadang bercanda lewat hasil lab. Tapi kali ini, aku menang. Kata dokter siang tadi, “Besok kamu pulang, mas”. Kalimat itu seperti puisi tiga kata yang ditulis langsung oleh langit. Hampir - hampir ku jawab “wihiiii”.

Dan seperti itu juga, sore ini terasa berbeda. Selang infus masih menempel di tangan, tapi rasanya sudah seperti benang cerita yang akan segera kutarik dari naskahku sendiri. Di layar, judul BALUARTI menyala pelan. Hampir selesai ku tulis. Hanya beberapa lembar lagi. Seperti hidupku yang juga hampir kembali.

Anehnya, justru di antara bau alkohol medis dan dengung AC yang tidak terlalu dingin, BALUARTI menemukan nadinya. Aku tak tahu, mungkin karena tubuhku lelah, pikiranku jadi jernih, atau karena di tempat seperti ini—seseorang tak bisa pura-pura sehat. Maka aku menulis dengan jujur. Dengan seluruh diriku.

Kisah itu lahir dari luka, tumbuh dalam rawat inap, dan sebentar lagi akan terbit di dunia luar. Sama sepertiku.

Besok pagi aku pulang. Dan BALUARTI pun akan lahir. Kami sama-sama akan keluar dari tempat ini. Bukan sebagai korban, tapi sebagai penyintas. Sebagai kisah. Sebagai bukti, bahwa mimpi bisa tumbuh bahkan di dalam ruang perawatan.

Dan aku… aku akan membacakan naskah ini keras-keras di rumah, di kamar yang hangat, sambil tersenyum kepada pagi, seperti seseorang yang baru saja pulang dari medan perang—membawa kemenangan kecil dalam bentuk kata-kata.