Seribu Kali Mendatangi Kauman dalam Seminggu


Malam ini aku ke Kampung Batik Kauman. Lorongnya sempit, tapi bagiku terasa seperti lorong waktu—mengajak berjalan perlahan, menunduk, dan mendengar suara-suara kecil dari masa lalu. Langit di atas sudah kehilangan hampir semua bintangnya, tapi tidak gelap. Karena di sini, cahaya datang dari hal-hal sederhana yang enggan padam.

Lampu-lampu kuning kecil menggantung dari langit-langit besi, seperti lentera yang digantung oleh tangan yang penuh kasih. Mereka tak terang, tapi cukup untuk melihat keindahan. Cahaya mereka jatuh ke lantai bercorak, membentuk bayang-bayang lembut di atas pola-pola melingkar seperti motif batik yang dicoretkan oleh seorang seniman tua yang masih percaya pada detail. Jalannya bukan sekadar jalan, tapi kanvas diam yang pernah disentuh oleh banyak langkah, oleh banyak cerita.

Ada satu lampu bohlam putih yang tergantung di bawah atap seng hijau. Sendirian. Terlihat usang dan mungkin sebentar lagi akan padam. Tapi malam ini, ia tetap menyala, setia seperti penjaga toko tua yang enggan tutup meski tak ada pelanggan.

Jendela-jendela tua berwarna hijau terbuka ke arah gang, persis seperti mata-mata tua yang tidak lagi tajam, tapi masih bisa menyapa. Dari dalam rumah, tanaman-tanaman kecil tumbuh dalam pot—beberapa tinggi, beberapa ragu-ragu. Cahaya kecil menyinari akar-akar mereka, seolah ada yang berdoa agar mereka tetap tumbuh meski pelan. Di dinding, bingkai-bingkai kayu menggantung sejajar. Ada tulisan-tulisan, mungkin puisi, mungkin sejarah. Aku tidak membacanya. Tapi mataku mengucapkan terima kasih kepada siapa pun yang menuliskannya.

Sebuah motor terparkir di tengah jalan. Tidak congkak, tidak pula tergesa-gesa. Diam saja, seperti tahu bahwa di lorong ini, waktu berjalan lambat. Bahkan mesin pun belajar menunggu.

Aku tidak banyak berpikir. Hanya berjalan dan membiarkan diriku disentuh oleh setiap lampu, setiap jendela, setiap pot kecil dan bayangan yang melintas. Di tempat ini, tak ada yang perlu dijelaskan. Semua hanya perlu diamati, lalu disimpan dalam hati.

Surakarta malam ini tidak ramai. Tapi indahnya tidak membutuhkan keramaian. Cukup satu lorong kecil, satu bohlam tua, dan langkahku yang perlahan.

Dan aku pun mengerti—begini rasanya mencintai kota tanpa perlu berkata-kata.