Seseorang Pernah Menungguku di Sop Mbak Tuk


Siang ini, langit di atas Jalan Slamet Riyadi berwarna kelabu, tapi tidak sepenuhnya murung. Seperti seseorang yang sedang menyimpan sesuatu, namun belum yakin apakah akan bercerita atau tetap diam saja. Jalanan bergerak perlahan, kendaraan-kendaraan seperti sedang berpikir keras sebelum mengambil keputusan. Aku membonceng Ulung melewati barisan pohon besar yang menjulang seakan menjadi penjaga waktu kota ini—kota yang diam-diam menyimpan kenangan dari tahun-tahun yang tak pernah aku alami.

Aku tidak sedang mengejar apa pun. Aku hanya ingin makan siang, dan entah bagaimana, langkahku—atau mungkin kesadaranku sendiri—membawaku ke sebuah tempat bernama Sop Mbak Tuk di Jalan Dworowati, Kratonan Serengan

Ruangannya panjang, dengan tembok kuning yang terang seperti matahari yang disembunyikan di dalam. Di sana ada bangku kayu, suara kipas angin, dan aroma kaldu yang perlahan-lahan membuka pintu-pintu kenangan masa kecil yang tidak pernah benar-benar aku mengerti. Seorang pria dengan kaus hijau pucat menyiapkan mejaku. Ia tak banyak bicara. Mungkin dia juga punya hal-hal yang tak sempat disampaikan pada siapa-siapa.

Aku memesan selat Solo. Makanan itu datang seperti sebuah lagu 80an favoritiku yang hanya terdengar jelas ketika kau duduk diam dalam kesunyian. Ada daging yang empuk dan sepi, telur rebus yang terbelah rapi seperti dunia yang sudah lama tidak utuh, kentang goreng yang tampak tenang tapi menyimpan panas yang sabar, dan kuah manis yang samar-samar mengingatkan pada percakapan terakhir dengan seseorang yang sudah lama pergi. Semuanya hadir tanpa perlu menjelaskan dirinya sendiri.

Aku makan perlahan, sendok demi sendok. Tidak karena aku sedang menikmati, tapi karena aku ingin mengingat rasanya. Karena mungkin, di hari-hari mendatang, aku akan merindukan rasa ini—bukan hanya rasa makanan, tapi rasa hari ini, rasa menjadi seseorang yang tidak dikejar siapa-siapa. Dan di sela-sela kunyahan dan hirupan kuah, aku bertanya-tanya—mungkinkah kenangan yang sebenarnya adalah rasa yang kita biarkan tinggal di lidah, bukan yang kita simpan dalam pikiran?

Setelah selesai, aku tidak langsung pergi. Aku duduk sejenak, menatap langit-langit seng yang menggantung seperti pikiran yang belum selesai. Di luar, Jalan Dworowati masih menanti, Jalan Slamet Riyadi masih ada. Masih bergerak perlahan. Dan aku pun kembali—entah ke kantor entah ke mana.