Di bawah lampu temaram yang menggantung rendah di gang sempit itu, aku berdiri memandangi Pak Toyo—lelaki tua berkemeja garis-garis, yang sejak tadi tak henti mengaduk mi dan nasi di atas wajan besar. Tangannya begitu terlatih, seolah setiap gerakan telah dipelajari dari puluhan, mungkin ratusan malam yang sama. Ada ketenangan dalam cara ia bekerja, seperti seseorang yang sudah berdamai dengan hidup dan segala liku-likunya.
Mejanya sederhana: plastik putih yang mulai menguning di sudut-sudutnya, tapi di atasnya warna-warna bertaburan. Tumpukan piring oranye, hijau, biru, dan kuning tersusun rapi. Telur-telur mentah berbaring tenang dalam keranjang biru, menanti giliran untuk dipecah. Ada keranjang saringan merah muda berisi bahan mentah entah apa, mangkuk kecil berisi sambal merah yang tampak menyala, dan botol-botol bening berisi cairan yang tak diberi nama—minyak, kecap, atau mungkin sesuatu yang hanya dikenal oleh dapur Pak Toyo sendiri.
Dinding di belakangnya penuh grafiti. Merah, kuning, biru—seperti teriakan anak-anak kota yang tak sempat tumbuh menjadi puisi. Di salah satu sudutnya, tergantung papan kecil bertuliskan batas RT dan RW. Sebuah tanda bahwa tempat ini nyata, bukan mimpi. Tempat ini sungguh ada, dan malam itu aku berdiri di sana.
Lalu, akhirnya, sepiring mi goreng dan nasi buatan Pak Toyo berada di tanganku. Hangatnya langsung menyusup ke sela-sela jemari. Mi yang kenyal, nasi yang agak kering tapi harum, telur goreng berwarna kuning tua, dedaunan hijau yang masih segar, dan di tepinya—sepotong timun. Bukan hiasan. Ia bagian dari komposisi rasa yang telah dipikirkan dengan hati-hati.
Aku mencicipinya. Dan pada suapan pertama, aku tahu: ini bukan sekadar makanan. Ini adalah bahasa. Ini adalah cerita yang tidak ditulis dengan huruf, tapi dengan api, minyak, dan kesabaran. Sepiring karya yang lahir dari tangan yang tak banyak bicara.
Pak Toyo tidak bertanya apakah aku suka. Ia hanya kembali ke wajan, mengaduk lagi, melayani malam yang panjang. Tapi aku tahu, diam-diam, ia sedang bercerita. Dan aku mendengarkannya lewat mi yang aku kunyah perlahan.