Soto Bu Trini dan Filsafat Kerupuk


Pagi tadi, saat langit Boyolali masih malas membuka matanya, dan ayam-ayam kampung masih menimbang-nimbang apakah akan berkokok atau tidak, aku sudah duduk penuh hikmah di warung Soto Kwali Bu Trini.

Warung itu tidak megah, tidak pula menyilaukan. Tapi seperti semua tempat yang dipilih semesta untuk menurunkan keajaiban-keajaiban kecil, ia punya sesuatu yang tidak dimiliki restoran bintang lima: jiwa.

Mangkuk tanah liat datang diantar pelayan setia Bu Trini yang katanya dulu pernah bercita-cita jadi pemain sinetron tapi batal karena terlalu sering tersenyum di luar naskah. Di dalam mangkuk itu, kuah soto berwarna keemasan menggelegak pelan, seakan sedang bercerita kepada kerupuk kulit yang mengapung di atasnya tentang perjalanan panjangnya dari dapur penuh doa.

Aku mencicipi sesendok. Rasanya seperti… masa kecil. Masa di mana aku duduk bersila di dapur, melihat ibu mengiris bawang sambil bersenandung lagu. Masa di mana dunia belum tahu apa itu Wi-Fi, tapi kita tahu rasanya disayang dan diberi makan dengan cinta.

Lalu datanglah sate, bertengger gagah di bibir mangkuk. Melengkung seperti senyum anak-anak di pinggiran stasiun. Tidak mewah, tidak mahal, tapi ah—betapa banyak orang besar tumbuh dari makanan sederhana yang disajikan dengan kasih sayang.

Di belakangku, seorang bapak berbaju batik dan peci miring duduk melamun. Mungkin sedang memikirkan masa muda, atau mungkin sedang menyesali kenapa tadi tidak ambil kerupuk kulit lebih banyak. Di dalam toples plastik biru di atas meja, kerupuk itu berdesakan, seperti anak-anak SD berlarian saat bel pulang sekolah. Mereka menunggu nasib: akan tenggelam dalam soto, atau dimakan kering dengan cocolan sambal.

Bu Trini, sosok legendaris yang katanya bisa mencicipi kaldu hanya dengan mengendusnya, sesekali muncul dari dapur. Wajahnya seperti embun yang sabar. Katanya, rahasia soto bukan pada daging atau rempah, tapi pada niat yang dimasak bersamaan.

Dan di pagi itu, saat matahari akhirnya muncul dari balik Gunung Lawu, aku belajar satu hal: bahwa hidup, pada akhirnya, hanya perlu satu mangkuk soto, sebatang sate, dan seseorang—entah diri sendiri atau orang lain—yang mau menyimak kisahnya.