Terima Kasih atas Cinta dalam Mangkuk untuk Menghangatkan Malam yang Panjang


Pernah, dalam sebuah buku tua yang kuyakini lebih banyak menyimpan debu daripada kata-kata, kubaca sebuah kalimat: kebahagiaan itu kadang datang seperti angin dari jendela yang lupa ditutup—pelan, tanpa suara, tapi tiba-tiba membuatmu merasa hidup. Dan malam itu, kebahagiaan datang kepadaku dalam wujud semangkuk stoop. Bukan stoop sembarangan, bukan pula stoop dari brosur iklan. Ini adalah stoop dari Mas Langga dan Mbak Dinda—tetanggaku yang sepertinya punya hobi menyelamatkan malam orang lain yang dingin karena hujan turun deras.

Saat kubuka penutup mangkuknya, aroma hangat langsung menyergap seperti sahabat lama yang tak sengaja ku temui di pasar. Uapnya menari-nari di udara, membelai wajahku dengan manja, membawa kabar dari dapur sebelah. Ada bau bawang putih yang jujur, pedas cabai yang malu-malu, dan taburan rempah yang rasanya seperti puisi-puisi yang baru saja diparut.

Stoopnya—stoop makaroni, kata mereka. Stoop makaroni ini seperti tali persahabatan yang tak gampang putus. Tebal, kenyal, dan putih bersih. Aku tak tahu apakah itu karena kualitas tepungnya, atau karena tangan yang membuatnya dilapisi sabar dan cinta. Kata nenekku, “Makanan yang dimasak dengan senyum akan menyisakan rasa meski sudah lama habis.” Dan benar saja—satu suap saja sudah membuatku merasa seperti tokoh utama dalam kisah yang baik.

Ada rasa asin yang jujur, rasa gurih yang nyaris filosofis, dan hangat yang turun perlahan-lahan ke dada, seperti nasihat dari orang tua yang tak sempat ku dengar waktu kecil. Stoop ini bukan cuma stoop. Rasanya, entah bagaimana, bisa membuat sepi terasa akrab dan malam yang panjang menjadi lebih pendek.

Aku menyendoknya pelan, bukan karena takut panas, tapi karena tak ingin terburu-buru berpisah dari kenikmatan ini. Tiap helai stoop seperti punya cerita. Tentang dapur kecil di rumah sebelah yang menyimpan rahasia sederhana: bahwa cinta bisa ditaruh dalam mangkuk, lalu dikirimkan kepada orang yang mungkin sedang lelah sepulang kerja dan diam-diam butuh perhatian.

Ketika stoop itu habis, mangkuknya masih kupeluk. Seperti orang yang belum bisa move on dari surat cinta pertamanya. Tak ada yang istimewa bagi dunia tentang ini—hanya stoop, hanya makanan. Tapi bagiku, malam itu berubah menjadi istimewa. Karena stoop itu adalah pernyataan kasih sayang yang tidak banyak bicara.

Dan aku tahu, malam itu aku tak sendiri. Terima kasih, Mas Langga dan Mbak Dinda. Kebaikan kalian terasa lebih lama dari kenyangnya.

Terimakasih atas pemaklumannya, aku tak bisa mengabadikan pemberian kalian seindah rasa yang tersimpan di dalamnya. Tanganku bukan tangan fotografer seperti Mas dan Mbak. Gambar yang kuambil barangkali tak bisa menangkap aroma, apalagi makna. Tapi percayalah, dalam foto yang sederhana itu, ada degup syukur yang pelan, ada kekaguman yang diam-diam, dan ada rasa terima kasih yang tak bisa diatur pencahayaannya.

Aku hanya bisa menangkapnya dengan cara paling jujur yang kumiliki: lewat tulisan, lewat kenangan, dan lewat perasaan yang barangkali akan abadi, seperti rasa stoop makaroni malam itu—yang akan selalu kuceritakan.