Tugu, Gerimis, dan Seorang Bapak dalam Becak


Mengayuh sepeda di jalur rindang Adi Sucipto, aku seakan melintasi batas antara mimpi dan kenyataan—pohon-pohon palem melambai pelan seperti menyapa, pagar-pagar putih tersenyum sopan di sisi trotoar, dan kabel-kabel listrik menggantung di langit seperti urat nadi kota yang diam-diam berbisik. Di bawah bayang pepohonan, waktu terasa melambat, seolah aku sedang mengayuh di dalam ingatan yang bukan milikku.

Gerimis menyelimuti Tugu Keris di Gilingan, memantulkan cahaya senja seperti kilau kenangan yang enggan padam; di seberangnya, seorang bapak duduk tenang di atas becaknya, tubuh tegap, wajah tanpa gelisah, seolah hujan dan waktu tak lagi punya kuasa atasnya—hanya diam panjang antara logam, hujan, dan manusia yang saling memahami tanpa kata.