Yang Tumbuh Bersama Waktu


Hari ini, kalender diam-diam menyimpan sesuatu yang istimewa. Sebuah tanggal yang mungkin tak terlalu mencolok bagi dunia, tapi begitu berarti bagi kami yang berjalan di bawah cahaya kepemimpinan Ibu Herlin.

Hari ini, Ibu bertambah usia. Dan entah mengapa, udara pagi terasa lebih teduh, seperti ada sejuk yang turun bersama doa-doa yang tak terucap. Di luar jendela, pohon-pohon seakan ikut melambai, memberi salam hormat kepada perempuan yang telah mengajarkan bahwa ketegasan bisa bersanding dengan kelembutan, dan bahwa memimpin bukan tentang mengatur, tapi tentang mengayomi.

Kami sering berpikir, apa yang membuat seseorang begitu dihormati bukan karena jabatan yang disandang, tapi karena caranya membuat orang lain merasa berarti. Ibu adalah contoh dari hal itu. Dalam setiap arahan, ada ketulusan. Dalam setiap teguran, ada harapan. Dan dalam setiap keputusan, selalu terselip doa yang diam-diam Ibu ucapkan—kami yakin itu.

Mungkin tak banyak yang tahu, bahwa menjadi pemimpin tidak selalu tampak megah. Seringkali itu berarti duduk paling akhir, pulang paling malam, dan memikirkan yang lain bahkan saat sendiri. Tapi Ibu melakukannya dengan anggun, seperti pelaut handal yang paham betul kapan harus menantang ombak dan kapan harus bersandar di dermaga. Dan kami, para awak kapal kecil ini, merasa aman karena tahu bahwa Ibu ada di ruang kendali.

Kami membayangkan, di masa kecil Ibu, ada seorang anak perempuan yang gemar menulis mimpi di belakang buku tulis, atau menatap langit sambil bertanya-tanya: “Akan jadi apa aku kelak?” Dan hari ini, jawabannya bukan sekadar jabatan atau capaian. Jawabannya adalah: menjadi cahaya.

Cahaya yang menerangi kami di saat jalan terasa redup. Cahaya yang membuktikan bahwa kehebatan sejati bukanlah tentang menjadi yang paling keras suaranya, tapi menjadi yang paling setia mendengar, memahami, dan menuntun.

Serta mulia, serta mulia, serta mulia Ibu Herlin.

Semoga hari-hari Ibu ke depan selalu dikelilingi oleh kasih yang tulus, senyum-senyum kecil dari orang-orang yang Ibu cintai, dan keberanian yang tetap menyala bahkan ketika dunia tampak lelah.

Terima kasih, Ibu, telah memilih untuk tidak sekadar hadir sebagai atasan, tapi menjadi pemimpin yang kami kenang dengan rasa bangga dan syukur.

Ada orang-orang yang datang dalam hidup kita dan meninggalkan jejak halus, nyaris tak terdengar, tapi kita tahu—jejak itu mengubah arah. Ibu adalah salah satunya. Tanpa gemuruh, tanpa suara tinggi, tanpa pujian yang diminta. Tapi kehadiran Ibu membuat pekerjaan menjadi punya makna. Hidup sehari-hari jadi terasa lebih tertata. Dan diam-diam, kami jadi ingin belajar untuk jadi lebih baik, bukan karena takut, tapi karena hormat.

Saya sendiri bukan orang yang percaya bahwa ulang tahun harus dirayakan. Waktu terlalu misterius untuk kita rayakan dengan balon dan spanduk. Tapi saya percaya satu hal: bahwa bertambahnya waktu adalah kesempatan untuk mengucapkan sesuatu yang sering tertahan. Terima kasih.

Terima kasih karena Ibu ada. Karena Ibu memilih untuk terus hadir. Karena Ibu membimbing bukan dari atas, tapi dari samping—bersama kami, di tengah-tengah kami. Karena Ibu memahami, bahwa manusia bekerja bukan hanya dengan logika, tapi juga dengan hati.

Tak semua orang diberi bakat untuk memimpin dengan kasih, dan membungkus ketegasan dengan kesabaran. Tapi Ibu membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak harus ditunjukkan dengan suara tinggi atau langkah cepat. Kadang justru hadir dalam diam yang penuh arah.

Hari ini, saya tak mengucapkan “selamat ulang tahun”. Tapi saya ingin mengucapkan: semoga Ibu senantiasa diberi kesehatan untuk terus melangkah, kebeningan hati untuk terus membimbing, dan ruang dalam jiwa untuk tetap menjadi manusia yang utuh—yang tak pernah lelah berbuat baik, walau kadang dunia tak memberinya sorak.

Dan kami, yang berjalan bersisian dengan Ibu, akan selalu membawa cerita itu—bahwa pernah ada satu masa, di satu sudut kantor ini, kami dibimbing oleh seseorang yang layak disebut guru.