Sore itu, langit Banjarnegara menggantung berat, seolah menyimpan rindu yang enggan tumpah. Awan gelap menggulung pelan, mengelilingi cahaya matahari yang tertahan, menyisakan semburat emas yang lembut menyusup di sela-sela cakrawala. Udara terasa lembab, tapi tidak mengganggu. Di alun-alun kota, segala sesuatu berjalan seperti biasa: anak-anak bermain, orang tua berbincang, remaja duduk sambil memainkan ponsel mereka. Namun di tengah semua itu, ada satu pemandangan yang membuat waktu seolah berhenti.
Iliana, anakku, berdiri di antara batu-batu trotoar yang berwarna merah muda dan abu-abu, membentuk pola simetris yang biasa saja—tapi menjadi latar istimewa bagi sosok mungilnya. Gaun putih yang dikenakannya mengembang sedikit tertiup angin. Rambutnya kusut, basah oleh keringat dan angin, dan kulitnya tampak kontras dengan cahaya langit yang redup. Ia berdiri diam, kedua tangannya bersatu di depan tubuhnya, seolah mencoba memahami dunia di sekitarnya dengan caranya sendiri yang hening.
Di belakangnya, hamparan rumput alun-alun terbuka luas. Beberapa anak berlarian mengejar bola, sebagian duduk di rerumputan, bercakap atau sekadar menatap kosong ke depan. Sebuah tiang batu berdiri tak jauh dari sana, sunyi seperti saksi bisu ribuan sore yang telah lewat. Di kejauhan, menara masjid menembus langit, kubah-kubah hijaunya memantulkan sisa cahaya yang masih tertinggal. Lampu-lampu taman belum menyala, tapi kehadirannya terasa seperti janji bahwa malam akan datang dengan tenang.
Pohon besar di tepi kanan membentangkan ranting-rantingnya ke segala arah, menaungi siapa saja yang berteduh di bawahnya. Di bangku batu, beberapa orang duduk, sebagian mengawasi anak-anak mereka, sebagian hanya diam. Jalanan kecil di pinggir alun-alun dipenuhi langkah-langkah santai, suara sandal bergesek pelan di atas paving yang lembab oleh udara. Semua berjalan biasa, tanpa tergesa.
Iliana menjadi titik tenang dalam keramaian itu. Tak ada yang memperhatikannya, tapi bagiku, seluruh sore tertuju padanya. Ia berdiri tidak sebagai pusat dari dunia, tapi sebagai pusat dari dunia kecilku. Sorot matanya tidak menyiratkan sesuatu yang besar, hanya ketenangan seorang anak yang hadir di tengah kebisingan yang tak ia pahami. Tapi dalam diamnya, ada kekuatan—kekuatan kecil yang hanya bisa dilihat oleh mata yang mencintai.
Segala hal di sekitarnya—langit, pohon, menara, tanah, batu-batu trotoar—semua seolah berhenti sejenak, memberi ruang untuk satu anak kecil yang berdiri menatap dunia dengan tenang. Tak ada tanya, tak ada jawaban, hanya sore yang berjalan perlahan, dan aku yang berdiri menyaksikan, dalam senyap yang penuh.