Baju Buatan Ibu


Di sebuah malam yang biasa, di tembok putih yang polos seperti lembar kertas belum ditulis, berdirilah Iliana, anak kecil dengan senyum secerah matahari yang baru saja bangkit dari tidurnya. Ia bukan hanya tersenyum, ia tertawa dalam diam, dalam caranya sendiri yang tak bisa dijelaskan oleh ilmu psikologi ataupun syair penyair paling romantik. Ia tertawa seperti bunga mekar di tengah musim gugur, sesuatu yang langka dan ajaib. Ada cahaya di wajahnya, dan cahaya itu bukan datang dari lampu atau matahari, tapi dari dalam jiwanya yang jernih.

Iliana mengenakan baju istimewa, bukan karena harganya, bukan pula karena mereknya, tapi karena dibuat oleh tangan cinta, oleh Nana, ibunya. Baju itu penuh dengan dinosaurus kecil berwarna-warni yang seperti menari di atas kain lembut, seolah sedang ikut bergembira bersama Iliana. Itu bukan sekadar pakaian, itu adalah pelukis perasaan. Setiap jahitannya adalah harapan, setiap pola adalah doa.

Lihatlah bagaimana Iliana berdiri, sedikit membungkuk ke depan, gigi-giginya menari bersama tawa yang begitu murni. Seolah-olah dunia ini belum sempat menyentuhnya dengan keruwetan dan luka-luka. Ada kebahagiaan yang tak bisa dibeli, tak bisa diajarkan, dan tak bisa diciptakan, hanya bisa diberikan oleh semesta kepada anak-anak yang masih suci, dan Iliana adalah salah satunya. Ia adalah puisi yang hidup, baris yang melompat dari buku sastra dan menjelma menjadi anak manusia.

Senyumnya bukan hanya milik keluarga, ia milik dunia. Karena siapa pun yang melihatnya, akan merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, segala sesuatu akan baik-baik saja. Di tengah segala lelah dan duka dunia, ada anak kecil dengan baju dinosaurus, yang berdiri di depan tembok putih, dan ia tertawa. Dan tawa itu, tanpa sadar, telah menyembuhkan luka kecil di hati siapa pun yang memandang.

Dan di sanalah Iliana, anak dari cinta, cucu dari harapan, dan pewaris tawa yang tak akan pernah padam. Kelak, saat ia membaca kisah ini, semoga ia tahu betapa bahagianya ia pernah menjadi cahaya dalam rumah kecil ini. Bahwa di balik baju buatan ibunya, di balik tembok putih itu, ada cinta yang tak bisa dituliskan seluruhnya, karena cinta itu, telah menjelma menjadi dirinya.

Dari Iliana, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati tak pernah berasal dari hal-hal besar, melainkan dari hal-hal sederhana yang dibuat dengan cinta. Sebuah baju buatan tangan ibu, tembok putih polos, dan senyum tulus seorang anak cukup untuk mengalahkan kegelisahan dunia. Kebahagiaan bukan soal kemewahan, tapi soal kehadiran, dan Iliana telah mengajarkan bahwa ketika cinta hadir, sekecil apa pun bentuknya, ia bisa menjadi pelipur lara yang paling agung. Sebab kadang, dalam tawa seorang anak, Tuhan menyelipkan pesan bahwa hidup ini indah, selama kita mampu melihatnya dengan hati.