Langit Banjarnegara sore itu menggantung seperti rahasia yang belum sempat dibisikkan. Awan-awan kelabu menggumpal perlahan di atas alun-alun, seperti lukisan tua yang enggan luntur. Aku berdiri menatapnya dari seberang jalan, sementara huruf-huruf kuning terang—BANJARNEGARA—berdiri kokoh di depan gerbang, menyapa siapa pun yang lewat seperti sahabat lama.
Di balik tulisan itu, berdiri patung dua sosok: seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya dalam satu cerita abadi yang tak membutuhkan suara. Sebuah adegan yang tidak bergerak, tapi tetap terasa hidup, seolah air gula merah dan santan itu masih menetes pelan ke gelas plastik bening.
Pilar-pilar tinggi dengan atap joglo mengapit mereka seperti penjaga warisan, seakan ingin berkata bahwa di kota kecil ini, kebahagiaan tidaklah rumit—cukup semangkuk dawet di sore hari, cukup seorang laki - laki yang berjualan bersama istrinya.
Di sisi jalan, gerobak hijau sederhana berdiri menyatu dengan suasana. Seorang penjual duduk tenang, diapit dua pelanggan yang larut dalam kegiatan senyap. Tak ada yang terburu-buru. Bahkan becak tua di kanan gambar pun tampak pasrah, seperti tahu bahwa di kota ini, waktu mengalir seperti es dawet yang cair perlahan di bawah matahari.
Angin sore mengangkat harum tanah dan gula kelapa. Langit mulai redup, tapi belum gelap. Lampu belum menyala, tapi suasana telah berubah menjadi kehangatan. Aku hanya singgah, hanya melintas, tapi di tempat ini segalanya terasa akrab, seperti pernah kutinggali di kehidupan yang lain.
Dan di bawah langit Banjarnegara, aku tahu: kisah seorang penjual dawet dan istrinya di patung itu akan terus mengajariku satu hal—bahwa cinta, sesederhana apa pun wujudnya, bisa menjelma abadi.