Belajar Lewat Tiga Layar


Pagi ini, dunia terasa seperti sedang mengantre. Antara sinyal yang minta dimengerti dan suara-suara dari ujung layar yang meminta didengar. Aku duduk di balik meja kayu yang hangat, hangat bukan karena sinar matahari, tapi karena ada banyak harap yang menetap di atasnya: satu laptop, dua monitor, kabel yang seperti akar-akar pohon tua, dan segelas kopi 8668 dingin yang sudah lupa kapan terakhir kali hangat.

Aku bukan siapa-siapa. Hanya operator Zoom. Tapi pagi ini, aku adalah penjaga jalannya kelas pajak. Di satu layar, aku memastikan suara pembicara jernih. Di layar yang lain, aku mencatat, ikut belajar, meski jari-jariku sibuk bergulat dengan tombol mute dan share screen. Kadang lucu juga hidup ini. Aku jadi jembatan antara yang bicara dan yang mendengar, antara yang mengajar dan yang belajar. Tapi di saat yang sama, aku sendiri mencoba menyeberang jembatan itu, ikut belajar, ikut mengerti.

Di layar besar, tayangan pembukuan tampil seperti lukisan modern: kotak-kotak, angka-angka, dan istilah-istilah asing yang kini mulai bersahabat. Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai menikmati semua ini. Mungkin saat aku sadar, bahwa menjadi operator bukan sekadar duduk dan mengatur teknis. Ini tentang memastikan bahwa orang-orang bisa saling terhubung, saling belajar, saling tumbuh, walau hanya lewat kabel dan sinyal.

Sambil menyeruput kopi yang sudah tidak lagi manis, aku mendengar suara dari headset. Seorang narasumber dari jauh menyebutkan istilah “neraca saldo.” Aku mencatatnya. Bukan hanya di buku, tapi di hati. Karena pagi ini aku bukan cuma operator. Aku juga murid. Aku juga manusia yang sedang mencoba paham pada dunia yang rumit, satu sesi pelatihan, satu klik, satu jeda suara, satu teguk kopi, satu pagi pada satu waktu. Dan di ujung semua ini, entah kenapa aku merasa bahagia. Sebab meski sunyi, pagi ini terasa penuh.