Pagi itu, langit biru bersih seperti kain batik baru yang belum dijamah waktu. Angin menggoda pelan, dan di hadapanku berdiri makhluk mungil dengan mata bercahaya, pipi ranum seperti jambu air, dan senyum yang entah bagaimana bisa melumerkan kerasnya dunia. Namanya Iliana. Anakku. Darah dagingku. Tapi lebih dari itu, ia adalah puisiku yang paling panjang, doa yang tak pernah selesai, dan keajaiban yang berjalan dengan sepatu pink dan celana bergambar kelinci.
Di atas topi bundarnya berdiri seekor burung hantu. Diam. Agung. Seolah ia penjaga hening yang dikirim dari negeri dongeng. Burung hantu itu, seperti guru tua yang memilih Iliana sebagai muridnya. Mungkin ia membawa pesan dari langit, atau hanya ingin menumpang melihat dunia dari kepala seorang anak yang hatinya masih jernih.
Di belakangnya, bangunan putih menjulang, megah dan penuh gaya. Tapi percayalah, kemegahan itu kalah jauh dibandingkan keteguhan langkah Iliana. Ia menunjuk sesuatu di tanah, entah batu kecil atau semut yang sedang berdoa, dan seketika dunia mengikutinya. Aku, seorang bapak yang terbiasa menahan tangis dengan dalih kuat, hanya bisa menatap dengan penuh dan mata nyaris tumpah.
“Bapak” katanya dalam bahasa yang masih patah-patah, tapi lebih puitis dari seluruh sajak Chairil Anwar yang kutahu. “Burungnya baik…” Aku mengangguk. Tapi sebetulnya aku sedang menunduk, menyembunyikan haru yang meledak pelan-pelan. Iliana tidak sedang memandangi dunia. Ia sedang memeluknya. Dan pagi itu, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa: barangkali surga memang pernah turun sebentar… dan berdiri di depanku, mengenakan topi beruang kecil dan sepatu yang bersinar.