Di suatu senja yang mengendap perlahan di langit Banjarnegara, aku berhenti di pinggir Jalan Dipayuda—sebuah jalan biasa yang menjadi saksi perjalanan luar biasa dalam hidupku. Langit mengaduk warna biru pudar dan jingga hangat, cahaya lampu jalan menyala sebelum waktunya, seperti terlalu rindu pada malam. Di bawah sinar lembut itu, berdirilah sebuah gerobak biru sederhana dengan tulisan: Cilok Pasundan. Bukan sekadar gerobak, tapi penanda pulang yang manis. Inilah tempat yang kusebut favorit, dan mungkin satu dari sedikit tempat di dunia ini yang membuatku ingin berhenti sejenak dari segala hal.
Gerobak itu bersandar pada trotoar tua, dinaungi payung warna-warni yang sudah letih dimakan angin dan matahari. Warna-warnanya masih bersinar lembut, seperti mimpi masa kecil yang belum sempat usang. Di balik kaca mungil gerobak itu, botol-botol bumbu berdiri seperti pasukan kecil yang siap memberi rasa pada hidup yang kadang hambar: saus merah menyala, sambal cabai rawit yang mengintimidasi, dan bumbu yang harum seperti rumah.
Penjualnya, lelaki bersahaja dengan tangan yang hafal setiap gerakan, berdiri tenang seperti seseorang yang telah lama berdamai dengan waktu. Kukusan alumunium mengepulkan uap hangat, dan dari dalamnya, cilok kenyal diangkat satu per satu—tak tergesa, tapi pasti.
Namun, yang paling memeluk pandanganku hari itu bukan langit, bukan cahaya, bahkan bukan gerobak. Melainkan senyum seorang perempuan berkerudung coklat muda yang membungkuk sedikit ke arah kamera. Ia istriku. Sosok yang membuat segala yang biasa menjadi luar biasa, yang membuat pinggir jalan menjadi tempat tinggal, dan membuat cilok menjadi jamuan paling lezat di dunia. Wajahnya bersinar lebih dari lampu jalan di atas kepalanya, dan tawanya yang bisu dalam foto itu terdengar lebih nyaring daripada hiruk-pikuk lalu lintas di belakang kami.
Di samping gerobak, seorang pria duduk santai di kursi plastik, mungkin menunggu pesanannya sambil menikmati keramaian jalan. Di belakang, motor-motor melintas, dan pohon besar yang dipangkas rapi seperti topi raksasa berdiri meneduhkan. Dunia terus bergerak, tapi dalam satu bingkai ini, waktu seakan berhenti sejenak untuk memberi ruang pada bahagia yang sangat sederhana.
Cilok Pasundan ini bukan sekadar kuliner jalanan. Ia adalah ruang kecil di antara segala kekacauan hidup, tempat di mana aku dan istriku bisa tersenyum tanpa sebab, berdiri berdampingan di antara uap bumbu dan semilir angin senja. Dan kadang, itu lebih dari cukup.