Di sebuah siang yang mendung, di bawah langit kelabu yang menggantung malu-malu di atas Jalan Dipayuda, aku menemukan sebuah keajaiban kecil yang nyaris tak tercatat dalam peta kenikmatan dunia kuliner. Di depan kantor Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Kabupaten Banjarnegara, sebuah nama yang panjang dan rumit seperti kisah cinta di buku-buku lawas, berdiri sebuah gerobak sederhana. Gerobak ini tidak memanggil dengan teriakan, tidak pula menawarkan diskon. Ia hanya diam, bersahaja. Tapi dari diamnya itulah, aku mencium aroma yang membuat hatiku berdebar.
Cilok Pasundan, begitu kata si penjual dengan logat Sunda yang terdengar seperti sajak yang belum selesai ditulis. Aku mengambil satu tusuk. Hanya satu. Karena aku tak ingin tamak. Tapi siapa sangka, satu itu cukup untuk mengguncangkan seluruh tata surya di mulutku. Saat gigi pertamaku menyentuh permukaannya yang kenyal, hangat, dan dibalut bumbu pedas asin yang menggoda, aku tahu: ini bukan sekadar cilok. Ini adalah pelajaran tentang kesederhanaan yang menang telak atas kemewahan. Rasanya seperti nostalgia masa kecil yang dipeluk oleh tangan ibu, sambil hujan turun perlahan-lahan.
Cilok ini tidak keras, tidak juga terlalu lembek. Ia punya tekstur yang bisa membuatmu lupa nama mantan. Bumbunya? Ah, bumbunya! Seolah-olah dibuat dari air mata bintang yang diperas di malam hari, ditambah sentuhan atom bulan dan manis senyuman wanita Jawa. Dan Sausnya, tidak main-main. Ia hadir bukan untuk menyiksa, tapi untuk memberi rasa rindu yang hangat, seperti surat cinta dari seseorang yang pernah kau temui di terminal bus.
Aku memakannya pelan-pelan, setelah lama ku dudukkan cilok itu di dashboard mobil, membiarkan tiap gigitan menyatu dengan suara rintik hujan yang jatuh malu-malu di kaca depan. Aku bukan kritikus makanan. Tapi aku tahu, jika Dante Alighieri pernah menulis tentang surga, maka ia pasti belum sempat mencicipi cilok ini. Karena jika sempat, satu bab penuh akan ia dedikasikan untuk makanan sederhana dari tanah Pasundan ini. Ah, Banjarnegara… siapa sangka, rahasia kelezatanmu tersembunyi di depan kantor perencanaan? Ironis. Karena tidak ada yang bisa merencanakan rasa seindah ini.