Pernahkah kau mendengar tentang sebuah rumah tua di jantung Surakarta yang menyimpan bukan hanya debu dan kayu lapuk, tapi juga sejarah yang mengendap seperti kopi tubruk buatan tangan-tangan Jawa? Aku datang ke sana saat sore merayap turun perlahan, saat matahari tak lagi menyala terang, tapi belum juga padam sepenuhnya, cahaya keemasan yang jatuh miring menari-nari di dinding kayu jati tua. Dan di sinilah aku, manusia biasa yang tiba-tiba merasa seperti arkeolog dari dalam dirinya sendiri. Di depanku: Dalem Joyokusuman, sebuah bangunan yang diam, tapi sebenarnya berbicara lebih fasih dari banyak manusia yang pernah kutemui.
Aku merasa rumah ini tidak dibangun hanya oleh tangan manusia, tapi oleh waktu. Setiap pilar joglo yang menjulang seperti doa yang belum selesai diucapkan, seolah menyimpan bisikan dari para bangsawan masa lalu, BKPH Kusuma Broto, Joyoningrat, hingga Joyokusumo, nama-nama seperti mantra yang tak pernah kering dari ingatan tanah ini.
Pikiranku melompat seperti kuda liar: di satu sisi, aku mendengar denting gamelan yang barangkali dulu pernah menyambut tamu agung atau menjadi pengiring tarian rahasia keluarga keraton. Di sisi lain, aku mulai menyusun tafsir yang menertawakan ilusi manusia modern. Bahwa bahkan rumah seperti ini pun, sebesar dan sesakral apapun ia dahulu, pada akhirnya berpindah tangan: dari pangeran ke saudagar batik, dari anak saudagar ke pemerintah kota.
Apakah itu takdir rumah-rumah besar dalam sejarah? Dilahirkan untuk para elit, dijual karena zaman berubah, lalu dirawat oleh negara sebagai artefak kolektif, bukan lagi milik pribadi, tapi milik kita semua, yang mungkin tak tahu siapa Joyokusumo itu, tapi bisa merasakan getar di udara saat berdiri di pendhapa-nya.
Dalem ini bukan sekadar bangunan. Ia adalah percakapan panjang antara masa lalu dan masa kini. Lihatlah tiang-tiang kayu jati yang menghitam oleh waktu, tapi masih tegak bagai prajurit tua yang enggan pensiun. Atap limasan yang menyembunyikan langit malam Surakarta, serambi kayu yang berderit lirih saat kau lewat, seperti mengingatkan bahwa kau hanyalah tamu sementara dalam riwayat yang lebih luas dari hidupmu.
Saat ini, Dalem Joyokusuman bukan lagi tempat tidur para bangsawan, tapi panggung bagi mereka yang ingin menjaga tarian, lagu, dan naskah lama agar tetap bernapas. Di sini anak-anak belajar memainkan gamelan, seperti merapal jampi-jampi pelestarian budaya. Di serambi sebelah barat, ada seniman tua yang mengajari cara menata wayang, bukan demi uang, tapi demi menjaga sesuatu yang tak bisa dibeli: rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Aku duduk di lantai marmer yang didatangkan oleh Joyoningrat pada 1938, memandangi cahaya sore yang merambat pelan ke arah pendhapa, dan merasa menjadi bagian dari cerita yang tak bisa ditulis ulang. Ini bukan nostalgia. Ini adalah pemahaman. Bahwa rumah bisa rusak, pemilik bisa mati, tapi makna... ah, makna bisa diwariskan seperti warisan terbaik manusia: bukan emas, tapi pengertian.
Dalem Joyokusuman, seperti hidup itu sendiri, adalah bangunan yang ditambal berkali-kali oleh waktu, oleh kehilangan, oleh transisi. Tapi yang membuatnya tetap berdiri bukanlah kekuatan kayu atau marmer, melainkan karena kita masih percaya bahwa yang tua tak selalu usang. Kadang, yang tua justru tahu arah pulang.
Dan aku pun pulang sore itu, tidak membawa apa-apa selain satu kesadaran: bahwa sejarah bukan milik mereka yang hidup di masa lalu, tapi milik kita yang cukup penasaran untuk datang, diam, dan mendengarkan.