Pagi itu, dunia belum terlalu ribut. Matahari menggeliat pelan seperti anak kecil yang malas bangun sekolah. Di sudut ruang tamu, Iliana duduk tenang di depan rak buku. Ia tak membaca, belum, tapi matanya memperhatikan halaman demi halaman seolah tiap buku menyembunyikan rahasia yang belum ia pahami. Jari-jarinya menyentuh sampul-sampul dengan takzim. Dalam hati aku yakin: ia sedang memilih semesta mana yang akan ia masuki hari ini.
Siang harinya, kami bertiga—aku, Nana, dan Iliana—pergi ke sebuah kedai dawet di sudut Pasar Gedhe. Kedai kecil, tapi tak bisa diremehkan. Dawetnya Dawet Telasih, manisnya seperti doa yang dijawab dengan sabar. Penjualnya seorang nenek tua berjilbab merah. Usianya entah berapa, mungkin sudah setua pohon jati di depan rumah masa kecilku. Tapi senyumnya masih hangat dan bulat, seperti mangkuk yang ia gunakan untuk menyajikan dawet. Ia menyapa semua pelanggan dengan ramah, seolah kita semua anak cucunya yang lama tak pulang.
Dawet itu dingin, seperti hujan kecil di siang bolong. Iliana meminumnya sambil menyipitkan mata, antara kaget dan bahagia. Nana menyeruput pelan.
Sore menjelang, aku tidur siang sebentar. Dunia terasa sunyi, kecuali suara kipas ac yang menderu-deru seperti penyair tua yang sedang mengeluh. Sebelum tidur siang, aku sempat membaca beberapa halaman dari Filsafat Kebahagiaan karangan Fahruddin Faiz. Buku itu tidak banyak menjanjikan tawa, tapi ada semacam ketenangan dalam cara penulisnya bicara soal hidup. Bahwa bahagia itu bukan hasil, tapi cara. Bahwa mungkin, menikmati dawet bersama keluarga di siang panas pun adalah bentuk kebahagiaan yang paling sahih.
Setelah bangun, kami ke toko karpet. Sebuah toko dengan tumpukan karpet warna-warni setinggi mimpi. Iliana langsung menjatuhkan dirinya ke atasnya, tertawa seperti orang yang baru menemukan pulau rahasia. Ia berbaring di sana, seperti putri dari negeri karpet. Matanya berbinar, tangannya mengelus permukaan karpet dengan lembut, seolah sedang menyentuh pelangi.
Lalu, sore diganti senja, dan kami menuju AMCO Bakehouse. Kafe yang tenang dan harum, seperti puisi dari oven yang menyala terus. Iliana duduk manis dengan minuman dingin di tangannya, dihiasi whipped cream yang menjulang dan stroberi di atasnya. Ia menatap etalase roti seperti sedang menonton opera roti dan kue, wajahnya serius, penuh pertimbangan, seolah setiap kue di situ punya karakter masing-masing.
Di sudut ruangan, ia bermain dengan sebuah patung unta kecil yang mengenakan topi merah. Ia memberi nama unta itu “Ali Baba.” Patung itu tidak bergerak, tentu saja, tapi Iliana memperlakukannya seperti teman lama yang baru bertemu.
Aku dan Nana menikmati kopi kami, yang tidak terlalu manis, tapi pas. Kami juga memesan dua roti: satu berbentuk oval dengan taburan biji hitam, dan satu lagi seperti croissant dengan isian cokelat dan wafer cokelat di atasnya. Roti yang jika dijelaskan kepada nenekku, akan membuatnya berkata, “Itu bukan roti, itu lukisan.”
Malam pun tiba seperti tamu yang selalu datang tepat waktu. Aku menemani kakakku membeli laptop di ELS Komputer Solo. Toko itu terang, modern, berpendingin udara, dan penuh suara klik mouse dan pertanyaan soal RAM. Kakakku memilih dengan serius, sementara aku menunggu dengan sabar, membayangkan dawet tadi siang yang tiba-tiba terasa seperti mimpi.
Setelah pulang, Iliana bermain bersama Hasna dan Hanum. Mereka bertiga bersantai di tempat tidur, berbagi stiker, cerita, dan tawa kecil yang tulus. Di antara bantal dan selimut, mereka menciptakan dunia kecil yang tak bisa dibeli di ELS, atau di AMCO, atau di toko karpet mana pun.
Dan aku hanya duduk memandangi mereka, memikirkan betapa aneh dan indahnya hari ini. Kadang, kebahagiaan hanya sejarak dawet dingin dan patung unta kecil yang mengenakan topi merah.