Malam telah turun perlahan, seperti tirai yang ditarik lembut dari langit. Cahaya lampu-lampu temaram menyembul dari kejauhan, tapi di tempat ini, hanya nyala bara yang menjadi pusat dunia.
Arang menyala merah menyilaukan, menyemburkan panas dan suara gemerisik kecil yang datang dari kedalaman bara. Api tak besar, tak meledak-ledak, hanya nyala tenang yang menyimpan tenaga. Ia membara seperti rahasia lama yang tak pernah benar-benar padam. Di atasnya, barisan tusuk sate berdiri rapi, seperti prajurit malam yang sedang bertugas menjaga rasa.
Daging-daging itu mengilap dalam cahaya merah bara. Ada bagian yang masih mentah, merah muda dan berurat, lalu ada bagian lain yang sudah matang, kecoklatan, dengan ujung-ujung hitam bekas terbakar. Lemak yang mencair jatuh ke bara dan menimbulkan letupan kecil—cipratan bunyi seperti bisikan rahasia dari arang yang puas.
Asap menari-nari ke atas, melayang seperti makhluk halus yang lembut, membawa harum bumbu, minyak, dan arang. Ia menyusuri langit malam, membaur bersama angin yang pelan. Tak ada bintang malam ini, tapi bara itu cukup. Ia menjadi langit yang bersinar dari bawah.
Lantai semen sedikit basah, bekas tumpahan air atau lelehan lemak. Warna hitam dari bara, warna coklat dari daging, warna abu dari besi panggangan—semuanya menyatu seperti palet lukisan yang hanya dikenal oleh malam.
Tak ada suara selain bunyi arang, dan mungkin satu dua langkah dari luar bingkai ini. Tapi di sini, dalam lingkaran panas dan asap, malam menjadi perayaan yang diam. Tidak meriah, tidak megah. Hanya hangat. Hanya cukup.
Idul Adha tidak sedang dirayakan dengan sorak, tapi dengan bara kecil yang menyala sabar. Dan malam ini, api itu bukan hanya memasak. Ia menyimpan makna. Di atas bara itu, malam menulis kisahnya sendiri.