Es Kopi


Aku sedang duduk di balik kemudi, mesin mobil menyala pelan, jalanan lengang sore itu seolah menjadi panggung refleksi. Di tangan kiriku, tergenggam kaleng NescafĂ© Ice Black—dingin, hitam, dan jujur. Barangkali ini bukan sekadar kopi kaleng. Barangkali ini adalah metafora dari sesuatu yang lebih luas, seperti organisasi yang sedang mengalami perubahan: tampak sederhana, tapi di balik itu menyimpan dinamika yang kompleks dan tak terduga. Angin dari AC mobil bertiup pelan, menyusupkan kesadaran yang jarang muncul saat tenggelam dalam jadwal.

Moekijat, yang aku temui pertama kali lewat buku-buku tua, mengatakan bahwa intervensi organisasi adalah serangkaian kegiatan yang terencana, bukan tindakan spontan atau tambal sulam. Ia menulis di tahun 1986, di masa di mana digitalisasi belum mengganggu tidur para manajer. Tapi ide dasarnya tetap abadi: intervensi adalah proses kolektif, bukan sekadar strategi dari ruang rapat ber-AC. Dalam setiap intervensi, ada harapan bahwa organisasi bisa menjadi tempat yang lebih manusiawi, bukan sekadar mesin laba.

Aku membayangkan seorang tokoh bernama Pak Moekijat, guru tua dengan suara lembut dan mata yang jernih, mengajarkan perubahan bukan dari buku, tapi dari percakapan di beranda. Ia akan berkata, “Nak, organisasi itu bukan cuma struktur dan fungsi. Ia punya jiwa. Dan tugasmu adalah menjaga agar jiwa itu tak pudar.” Kalimat yang begitu puitis, tetapi justru menjelaskan bahwa perubahan sejati terjadi di ruang paling personal: hati manusia.

Namun, jika kita berpikir agak jauh, maka intervensi organisasi hanyalah satu bab kecil dari sejarah panjang Homo sapiens mengatur dirinya sendiri. Ia akan berkata bahwa Nescafé Ice Black di tanganku adalah hasil evolusi preferensi manusia, dirancang oleh sistem global yang memahami betul bagaimana menciptakan kecanduan dan efisiensi dalam satu tegukan. Di balik strategi organisasi, ada jaringan data, kebiasaan konsumsi, dan algoritma yang terus-menerus menyesuaikan diri dengan hasrat manusia modern.

Aku merenungkan bahwa pendidikan, pelatihan, bahkan sensitivity training, seperti yang kubaca dari catatan kuliah pagi tadi, bukanlah alat formal belaka. Ia adalah cara agar manusia di dalam organisasi lebih peka, lebih mendengar, lebih mengerti satu sama lain. Bukan sekadar untuk mencatat KPI atau mengejar indeks produktivitas, tetapi untuk menyentuh sisi paling esensial dari organisasi: hubungan antarindividu. Di sinilah kepekaan menjadi strategi, bukan kelemahan.

Lalu, di antara detak jam dan deru mesin mobil, aku kembali menyeruput kopi ini. Rasa pahit dan dingin menyelinap ke dalam kerongkongan seperti kenyataan tentang struktur organisasi yang mekanistik. Namun justru di sanalah kesadaran muncul: bahwa intervensi tak selalu harus dramatis. Kadang ia hadir diam-diam, dalam bentuk pemahaman baru, atau bahkan dalam secangkir kopi yang kau genggam sambil menyadari: organisasi, seperti manusia, bisa berubah—pelan-pelan, asal diberi ruang untuk merasa.