Hari ini aku bertemu dengan Puthut EA


Hari ini aku bertemu dengan Puthut EA. Namanya barangkali hanya sekumpulan huruf bagi sebagian orang, tapi bagiku, dia seperti halaman-halaman buku yang membentuk peta rahasia menuju pemahaman tentang hidup, humor, dan kesedihan yang tidak pernah diumbar.

Aku datang ke Balekambang lebih awal. Langit Solo sore itu seperti kanvas yang dilukis dengan warna biru muda dan sabar, seolah Tuhan sedang dalam suasana hati yang baik. Angin berhembus pelan dari arah pepohonan tinggi, menari di sela dedaunan yang gemetar pelan, seperti ikut menanti sebuah pertemuan penting. Dan benar, ini penting bagiku.

Acara itu bertajuk Wedangan Bareng Mas Respati dan Mbak Astrid. Judulnya merakyat, hangat, dan mengandung aroma jahe serta kenangan masa kecil di angkringan kampung. Tapi yang membuatku datang bukan cuma angkringan—walau, siapa bisa menolak wedang jahe sore-sore? Aku datang karena ada satu nama: Puthut EA.

Ketika dia muncul, senyumannya tak dibuat-buat. Ia mengenakan baju gelap, dengan kerah yang sedikit lusuh, seperti penulis tulen yang lebih sering bercakap dengan pikirannya sendiri daripada cermin. Aku memberanikan diri untuk mendekat. Lututku seolah meleleh, seperti tahu goreng baru diangkat dari minyak. Tapi aku tetap berdiri. Dan akhirnya, kami berfoto.

Ah, foto itu… Foto yang mungkin akan tampak biasa bagi orang lain. Tapi di wajahku yang menegang karena bahagia, dan di sorot matanya yang teduh, tersimpan cerita bahwa kadang, mimpi masa kecil bisa tercapai, hanya dengan satu jepretan kamera.

Aku tak tahu harus bicara apa. Padahal, di kepalaku, sudah lama kususun daftar pertanyaan dan kekaguman yang ingin kuucapkan. Tapi seperti biasanya, saat berhadapan langsung dengan panutan, semua kata berubah jadi debu di udara sore yang lembut itu.

Hari ini aku bertemu dengan Puthut EA. Dan seperti buku-bukunya, dia tak memberi banyak nasihat. Tapi entah kenapa, aku pulang membawa ketenangan. Dan untuk sesaat, aku merasa, hidupku baik-baik saja.