Dalam bingkai hitam bertulis “Class of 2025” itu, aku menyaksikan sebuah metamorfosis yang tak kasat mata, transformasi seorang birokrat menjadi seniman, atau mungkin sebaliknya, seorang seniman yang kebetulan menjadi birokrat. Ibu Anggar berdiri di sana dengan senyum yang menyimpan ribuan cerita, memegang plakat penghargaan seperti seorang prajurit yang baru saja memenangkan perang panjang melawan rutinitas.
Betapa aneh takdir manusia. Di era di mana algoritma menentukan nasib ekonomi dan kecerdasan buatan mengancam menggeser peran manusia, sosok seperti Ibu Anggar justru membuktikan bahwa jiwa seni masih bisa berdetak dalam dada seorang pegawai pajak. Ia adalah anomali yang indah dalam sistem birokrasi yang kaku, seperti bunga teratai yang tumbuh di tengah rawa administrasi.
Aku merenungkan paradoks ini: di kantor pajak Muntilan, antara tumpukan berkas dan excel yang tak pernah lelah, hidup seseorang yang memahami bahwa angka bukanlah satu-satunya bahasa untuk menggambarkan kehidupan. Mungkin inilah yang membuat beliau mengesankan, kemampuannya untuk melihat keindahan di balik kerumitan sistem perpajakan, untuk menemukan harmoni di antara disharmoni birokrasi.
Ketika bulan depan beliau purna tugas, kami akan kehilangan lebih dari sekadar seorang kepala kantor. Kami akan kehilangan bukti hidup bahwa manusia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah mesin birokrasi yang tak berperasaan. Kami akan kehilangan pengingat bahwa di balik setiap formulir pajak, ada ruang untuk imajinasi.
Dan mungkin, di sinilah letak kearifan tertinggi: bahwa seni dan administrasi, kreativitas dan aturan, bukanlah musuh abadi yang harus berperang. Mereka bisa berdampingan, saling melengkapi, seperti dua not dalam simfoni kehidupan yang rumit namun indah.