Pagi itu, langit belum benar-benar biru, masih bercampur abu tipis seperti sisa mimpi semalam yang belum selesai. Aku menggendong Iliana, anak kecilku, di tengah keramaian Car Free Day. Ia mengenakan baju pink dengan celana pendek krem, dan sepatu pink yang gemerlap seperti semangat paginya. Tangannya menggenggam kantong plastik kecil, isinya entah apa, mungkin angin pagi, mungkin harapannya yang belum sempat ia ucapkan.
Sekeliling kami penuh manusia yang seperti melarikan diri dari rutinitas: ada yang berlari, ada yang tertawa, ada pula yang hanya berjalan sambil berpura-pura tak sedang memikirkan apa-apa. Di antara tenda-tenda itu, aku melihat satu yang menjual parfum. Bau wangi samar menyeruak seperti kenangan lama yang lewat tanpa permisi. Tapi Iliana, dengan cerianya yang seperti matahari pribadi, tidak peduli. Ia melambai-lambaikan kantong plastiknya seperti sedang menyapa dunia.
Lalu kami piknik di halaman rumput depan De Tjolomadoe. Bangunannya megah, seperti potongan sejarah yang tak mau pensiun. Cerobong asapnya menjulang tinggi, tegak, seperti lelaki tua yang masih bangga meski sudah tak lagi bekerja. Aku duduk bersama keluargaku—Mas Herla dan Mbak Siti, Hasna dan Hanum. Kami menggelar tikar, membuka bekal, tertawa. Iliana berlarian, mengejar semut, atau mungkin mengejar waktu yang terlalu cepat.
Setelah itu, kami mampir ke toko kain Mac Mohan. Rak-raknya penuh kain: biru laut, hijau daun, merah saga, motif bunga, kotak-kotak, polkadot, dan segala corak yang tampaknya diciptakan oleh orang-orang yang sedang jatuh cinta. Toko itu ramai. Orang-orang berdesakan, saling menawar, saling menimbang. Aku pun ikut memilih-milih, walau sebenarnya tak tahu pasti mau dijahit jadi apa.
Hari menjelang sore, dan rasa lapar datang seperti tamu yang tak pernah absen. Kami makan di So Ramen. Meja kayu kami sedikit bergoyang, tapi cukup kokoh untuk menampung semangkuk ramen panas dan es teh yang mengembun. Dindingnya dipenuhi gambar manga—wajah-wajah tokoh fiksi yang sedang berteriak, tersenyum, menangis. Iliana duduk di dekatku, bermain di lantai dekat dinding, tangannya menggambar sesuatu di udara. Mungkin dia sedang menciptakan cerita baru, dunia baru, temannya sendiri.
Malam tiba pelan, seperti selimut tipis yang disibak perlahan. Iliana kini di rumah, bermain di lantai yang beralas karpet warna-warni. Di dekatnya ada kandang hamster kecil, keyboard komputer, dan barang-barang yang seolah berantakan tapi punya susunan sendiri di dalam dunianya. Ia mengenakan piyama kuning bermotif zebra, lucu sekali, seperti boneka yang bisa bicara. Ini momen sebelum ia tidur.
Dan aku, pergi menonton konser “For Revenge”. Panggungnya menyala terang, memecah malam, seperti bintang yang tak sabar menampakkan dirinya. Musiknya menggelegar, dan di tengah riuh penonton, aku merasa sunyi—sunyi yang menyembuhkan. Di akhir acara, di layar besar, muncul tulisan: “Terima kasih telah merayakan patah hati bersama kami.” Aku diam.
Tiba-tiba teringat Iliana yang tertawa di pagi hari, Iliana yang bermain dengan hamster, Iliana yang menatap etalase roti kemarin, Iliana yang tidur dalam piyama zebra. Dan aku tahu, patah hati pun bisa dirayakan, jika kau punya alasan untuk tetap pulang.