Tadi malam, langit Jerusalem kembali menyala. Bukan oleh cahaya lilin atau lentera kuno, tapi oleh rudal-rudal yang ditembakkan dari jauh, sebuah ritual modern dari kebencian purba. Sirene meraung, tanah berguncang, dan sejarah, seperti yang ditulis oleh Montefiore, berulang sekali lagi. Aku membaca buku itu saat berita tentang kota yang sama membanjiri layar ponselku. Rasanya seperti menyaksikan bab terakhir ditulis secara langsung.
Montefiore pernah menulis bahwa Jerusalem bukan sekadar kota; ia adalah cermin jiwa manusia, tempat di mana cinta paling agung dan kekejaman terdalam pernah hidup berdampingan. Dan kini, di tahun 2025, Jerusalem sekali lagi membuktikan bahwa waktu tidak pernah benar-benar menyembuhkan kota ini. Ia hanya mengganti nama pelaku, senjata, dan bahasa peperangan.
Membaca lembar-lembar buku ini saat ledakan menggema di berita terasa seperti mendengarkan bisikan roh-roh lama yang berulang kali berkata: “Lihatlah, kami belum selesai.” Dari zaman Herodes hingga perang Salib, dari Kekaisaran Ottoman ke penjajahan modern, kota ini terus menjadi panggung dari drama yang tidak pernah ditutup tirainya.
Aku tidak tahu harus merasakan apa. Sedih, mungkin. Atau justru takjub pada kemampuan kota ini bertahan. Di dalam halaman-halaman buku Montefiore, aku menemukan bahwa tidak ada kota lain yang begitu sering dihancurkan, dibangun kembali, lalu dihancurkan lagi, dan tetap menjadi pusat iman dan amarah umat manusia.
Jerusalem bukan hanya kota yang hidup di masa lalu. Ia masih bernafas hari ini. Masih menjerit. Masih berdarah. Dan sayangnya, masih terlalu relevan. Buku itu kini tidak lagi terasa seperti sejarah. Ia adalah berita terkini yang ditulis dengan pena dari ribuan tahun lalu. Dan saat aku menutupnya, aku sadar: Jerusalem tidak akan pernah hanya menjadi masa lalu. Ia adalah masa kini yang terus menulis dirinya sendiri , di langit yang dilintasi rudal, dan di hati mereka yang masih percaya pada kedamaian.