Kantin Sekolah


Lorong ini lengang. Suara yang paling keras hanyalah detak langkahku sendiri yang bergema di atas lantai semen yang mulai retak—retakan kecil yang entah sudah berapa tahun di sana, seperti kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. Di kiri, bangunan hijau berdiri tegas. Di kanan, tembok putih, dingin tapi tenang. Di tengahnya: aku. Hanya aku. Angin lewat pelan, seperti malu-malu menyentuh wajah. Langit di atas terlalu biru untuk diabaikan. Awan menggumpal ringan, seakan dunia sedang tidak terburu-buru. Barangkali memang tidak.

Aku duduk di bangku besi, menatap ke ujung lorong yang tak begitu jauh tapi entah mengapa terasa seperti ujung dunia. Tempat itu diam, tapi tidak hampa. Diam yang penuh isi. Diam yang menyimpan banyak hal—mungkin rencana yang tak jadi, percakapan yang tertinggal, atau pikiran-pikiran sederhana yang terlalu malu untuk diucapkan. 

Tempat ini bukan tempat istimewa. Tapi aneh, rasanya seperti bisa memeluk seseorang yang tak ada. Seperti bisa mendengar tawa dari masa lalu. Kadang, tempat-tempat seperti ini justru yang paling jujur. Ia tak mencoba menjadi lebih dari dirinya sendiri. Ia hanya lorong. Tapi juga jalan pulang. Juga jalan pergi. Juga tempat singgah. Dan aku di sini, hanya ingin diam sebentar. Menyimpan dunia di dalam dada, dan membiarkan waktu berjalan tanpa aku harus mengikutinya. Langit masih biru. Dan itu saja sudah cukup untuk membuat hati percaya bahwa esok bisa lebih baik.