Aku memandangi loyang-loyang kecil yang berbaris rapi, seakan-akan mereka tahu bahwa hidup—meski sering tak adil—masih bisa terasa manis bila dibungkus harapan dan kayu manis. Di permukaannya, taburan kismis dan irisan almond tampak seperti bintang-bintang di langit malam, ketika listrik padam dan segala yang tersisa hanya doa serta angin laut.
Namun sebagai manusia modern—yang mengembara dari laboratorium genetik ke ruang perdebatan filsafat—aku pun menyadari: ini bukan sekadar kudapan. Ini adalah produk evolusi budaya. Campuran roti yang dijadikan sajian mewah ini mencerminkan salah satu naluri paling purba dalam sejarah sapiens: bertahan dengan cara yang indah. Di masa lalu, manusia gua menggambar kerbau di dinding batu. Kini, kita menggambar rasa dengan kayu manis dan gula.
Di setiap loyang mungil itu ada sejarah singkat peradaban yang membungkus rindu dan lapar. Manusia makan bukan hanya karena butuh energi, tetapi karena ingin mengingat: bahwa kita pernah bahagia meski sederhana, bahwa kita punya kisah di balik tiap rasa.
Dan saat sendokku menyentuh permukaan yang hangat dan lembut itu, aku tahu: di dunia yang sering terlalu cepat ini, sepotong puding bisa menjadi bukti bahwa waktu bisa diperlambat—dengan cinta, dengan memori, dan tentu saja, dengan sedikit taburan pala.