Kopi Tani Banjarnegara


Sore itu, langit Banjarnegara mendung seperti perasaan yang belum sempat diberi nama. Awan-awan menggantung berat, menampung diam-diam embun yang tak lama lagi akan jatuh. Kami berdiri di atas kerikil basah, di tepi alun-alun yang mulai hening, hanya dikerumuni lampu-lampu kecil yang menyala pelan seperti bintang-bintang pemalu.

Di tanganku dan tangannya—tangan Nana, istriku—ada dua gelas kopi dingin. Warnanya nyaris sama, coklat lembut seperti tanah kebun yang baru disiram hujan. Satu bergambar rusa putih dengan tanduk yang agung, tampak tenang meski tak bisa bergerak. Satunya lagi bertuliskan Vanilla Latte, ditulis dengan spidol hitam yang tinta akhirnya pudar tersapu embun dari tutup plastik bening.

Aku memandangi kedua kopi itu, lalu memandangi pegunungan di kejauhan. Gunung-gunung yang tertutup kabut tampak seperti lukisan tua yang belum selesai, dibuat oleh pelukis yang terlalu sibuk merindukan seseorang.

Kami tak berbicara apa pun. Tapi dengan dua cangkir plastik yang beradu pelan di udara dingin itu, kami tahu bahwa sore ini, tak ada yang perlu dijelaskan. Hanya rasa syukur yang pelan-pelan mengendap, seperti ampas kopi di dasar gelas.