Kursi Nomor Lima, Dekat Dinding Penuh Cerita


Malam belum terlalu tua ketika aku, Nana istriku, dan Iliana anak kami yang baru bisa menyebut “teh talik” alih-alih “teh tarik”, melangkahkan kaki ke kedai legendaris yang baru saja bangkit dari debu dan asap: Teh Tarik 88, di jantung Kemlayan, Solo.

Kedai itu seperti seorang tua yang baru saja sembuh dari batuk panjang. Wajahnya masih sama, aroma kayunya masih lembut menusuk hidung, tapi dindingnya seperti memeluk cerita yang baru: cerita tentang api, jeritan selang, dan nyala yang nyaris mencuri nyawa rasa. Kami duduk di meja yang biasa. Meja nomor lima, dekat dinding yang penuh stiker.

Nana mengenakan hijab bermotif jingga yang selalu membuatku ingin memanggilnya “puisi berjalan.” Ia tersenyum, bukan pada teh tarik-nya, bukan padaku, tapi pada Iliana yang sedang berusaha bersulang. Tangan kecil Iliana mencoba meraih gelasnya yang berkeringat karena es, seolah ia ingin ikut bersulang atas sesuatu. Mungkin atas hidup. Atau atas keajaiban bahwa kedai ini tak menjadi berita duka.

Aku mengangkat gelas, dan dalam diam, kami bertiga bersulang. Tiga sedotan, tiga gelas, satu rasa syukur. Tak ada pidato. Hanya detak jantung yang melambat karena manisnya teh dan hangatnya kebersamaan.

Aku teringat berita dua malam lalu. Api, si liar yang tak pernah bisa diajak bicara baik-baik, mengamuk dari dapur karena tabung gas yang bocor. Kabarnya, asap sempat enggan keluar, seolah ingin menginap semalam di kedai ini. Delapan mobil damkar datang seperti ksatria dalam dongeng urban, dan dalam sepuluh menit, nyala padam. Tapi tidak kisahnya. Kisahnya tinggal di sini. Di dalam tembok yang sekarang menyimpan aroma keberanian.

“Mas,” kata Nana pelan, “ini enak banget ya meskipun baru buka lagi.” Aku tak menjawab. Hanya memandangi Iliana yang kini tertawa, tangannya hampir menyentuh gelas. Kukira, kebahagiaan memang sesederhana itu. Segelas teh tarik yang selamat dari tragedi, seorang istri yang tak lelah mencintai dalam diam, dan seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa tentang kebakaran, tapi tahu betul caranya membuat dunia berhenti sejenak lewat tawanya.

Kedai Teh Tarik 88 telah terbakar, benar. Tapi malam ini, di meja putih itu, aku tahu: beberapa tempat punya cara sendiri untuk hidup kembali. Bukan hanya dengan membuka pintu, tapi dengan menerima kita seperti dulu. Seperti tak pernah ada luka. Dan malam pun menghangat, seperti teh tarik yang, entah kenapa, malam ini terasa jauh lebih dalam rasanya.