Lantai Empat


Pagi ini, angin dari utara datang membawa aroma genteng basah yang mengingatkanku pada kampung halaman, di mana langit serupa birunya dan atap-atap rumah seperti laut yang diam, bergelombang merah bata. Aku berdiri di lantai empat kantor ini, Kanwil DJP Jawa Tengah II, di Kota Surakarta, tempat para pegawai sibuk menafsir angka, namun aku justru sibuk menafsir langit.

Langit hari ini… ah, sungguh, seakan Tuhan melukisnya dengan kuas nostalgia. Awan-awan putih berarak pelan, seperti barisan para mimpi yang belum sempat kutuliskan. Langit biru ini menganga lebar, menampakkan sedikit senyuman matahari, malu-malu seperti gadis desa dilamar puisi.

Aku menyandarkan tubuh pada tembok dingin balkon. Dari sini, atap-atap merah genteng menyambut mataku seperti para tokoh dalam buku, setia, bersahaja, dan menyimpan kisah. Di ujung sana, bendera merah putih berkibar di tengah kompleks yang tenang. Mungkin ia juga sedang menatap langit yang sama, menunggu hari besar atau sekadar memberi semangat pada para pegawai yang letih.

Surakarta, kota yang tak pernah lelah menua dalam cerita-cerita sejarah. Di kejauhan, kubah stadion, menara-menara, dan gedung-gedung tinggi menjulang, seperti barisan masa depan yang berdiri berdampingan dengan masa lalu. Ada harapan di sana, walau samar, seperti pelajaran hidup dari guru yang tak pernah mengangkat suara.

Kadang aku berpikir, mungkin inilah surga kecil bagi para pemimpi kantoran: tempat di mana kertas, data, dan laporan bergumul dalam ruang AC, namun langitnya tetap luas dan bebas. Seperti aku yang berdiri di sini, sesaat tak lagi jadi pegawai, tapi penulis yang menyaksikan puisi dari langit.

Dan dalam sunyi ini, aku berjanji diam-diam, suatu hari akan kutulis cerita tentang atap-atap merah ini. Tentang kantor ini. Tentang Surakarta dari lantai empat. Karena tak semua perjalanan harus jauh untuk jadi berarti. Kadang, cukup dengan menengadah ke langit dan tersenyum.