Biografi Singkat Tan Malaka


Pagi masih muda di Pandan Gadang. Embun belum tuntas turun dari langit. Di kejauhan, suara burung murai bersahutan dengan riuh kecil dari dapur rumah panggung. Seseorang lahir, bukan dari rahim sejarah besar, tapi dari tubuh kampung yang tak pernah bermimpi melahirkan pemberontak. Seorang anak lelaki dengan mata yang hening seperti telaga di kaki Bukit Barisan.

Namanya: Tan Malaka. Nama yang dulu biasa saja. Nama yang kelak akan digores dengan darah, disapu angin buangan, dan disimpan diam-diam di lemari besi sejarah bangsa.

Tan kecil tak tahu bahwa kelak ia akan menjadi anak hilang dari kemerdekaan yang ia perjuangkan. Ia hanya tahu satu hal sejak kecil: keadilan itu ada, tapi jaraknya jauh. Maka ia berjalan, bukan dengan langkah kaki, tapi dengan pikiran yang tak mau tunduk.

Ia belajar di sekolah Belanda. Bukan karena ia ingin menjadi seperti mereka. Tapi karena ia ingin memahami bagaimana sebuah bangsa bisa menginjak bangsa lain dengan keyakinan yang tidak pernah ditanya asal-usulnya. Ia membaca. Ia menyelami buku seperti orang kampung menyelami sungai untuk mencari ikan: sabar, telaten, dan penuh harapan.

Ketika pemuda lain memikirkan seragam, Tan memikirkan nasib petani yang upahnya selalu dipotong karena langit terlalu lama menangis. Ketika orang-orang memuja jabatan, ia justru menulis tentang kesetaraan dengan tinta yang dicampur gelisah.

Ia meninggalkan tanah kelahirannya bukan untuk bersembunyi, tapi untuk menyampaikan jeritan negerinya yang tak sempat belajar bersuara. Ia pergi ke Filipina, ke Vietnam, ke Tiongkok, bahkan ke Rusia, dengan satu hal yang tak pernah ia tinggalkan: keyakinan bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hak yang ditagih.

Hidupnya adalah perjalanan panjang yang tak punya halte perhentian. Ia ditangkap, dibuang, diburu. Tapi Tan Malaka tak pernah lelah. Tubuhnya rapuh, tapi pikirannya selalu tajam seperti mata pisau yang baru diasah. Ia menulis buku yang dijadikan bahan bakar pergerakan, walau kadang ia sendiri hidup seperti bayangan di lorong gelap perpustakaan.

Ia tak pernah punya rumah. Bahkan untuk mati pun, ia harus mencarinya di hutan, di tempat peluru bicara lebih dulu daripada manusia.

Tan Malaka wafat di antara bisik-bisik pohon dan senjata yang tak sempat mendengar penjelasan. Tapi ia tidak mati. Ia tetap hidup, menumpang di setiap kata yang ditulis dengan hati. Namanya mungkin dihapus dari buku sekolah, tapi namanya tetap tertulis di udara yang dihirup oleh para pemimpi.

Bangsa ini mungkin tak pernah benar-benar merayakannya. Tapi bangsa ini tumbuh dari tanah yang ia pupuk dengan pikiran dan keberanian.

Tan Malaka adalah seorang lelaki yang terlalu jujur untuk politik, terlalu murni untuk kekuasaan, dan terlalu keras kepala untuk menyerah. Ia tahu bahwa sejarah tidak selalu adil. Tapi ia juga tahu bahwa waktu tidak bisa memadamkan cahaya yang lahir dari ketulusan.

Dan hari ini, jika kau berjalan ke ujung desa, dan duduk diam di bawah pohon tua, mungkin kau akan mendengar langkah-langkahnya. Bukan karena ia datang kembali. Tapi karena ia memang tak pernah benar-benar pergi.