Aku duduk di pinggir Plaza Gor Indoor Manahan malam itu, di bawah lampu-lampu taman yang seperti meniru bintang—lampu yang tak lelah menyala meski tak pernah dipuja. Di hadapanku, Taman Manahan membentang bukan sekadar taman, tapi seperti tempat pertemuan antara dongeng masa kecil dan refleksi masa depan umat manusia. Api abadi di puncak instalasi besi menjulang bagai janji-janji yang belum sempat padam, dan warna-warni cahaya menyulap beton menjadi lukisan hidup. Orang-orang duduk, mengobrol, atau hanya diam memandangi tembok yang kini jadi layar impian kota.
Aku pikir, betapa indahnya manusia ketika ia tidak terburu-buru. Mereka duduk seperti tak lagi dikejar waktu. Padahal, sejarah manusia adalah sejarah berlari—dari lapar, dari perang, dari kebodohan. Tapi malam itu, di tempat ini, mereka berhenti. Di tengah pancaran lampu LED dan api buatan, aku melihat betapa peradaban adalah perkara estetika juga, bukan hanya soal bertahan hidup.
Anak-anak berlarian, dan aku teringat pada mimpi masa kecilku yang pernah sewarna lampu-lampu ini. Saat itulah aku merasa hidup ini adalah rangkaian kecil dari keajaiban besar: manusia yang menciptakan taman dari beton, nyala dari listrik, keindahan dari kerja keras kolektif. Tapi di balik semua itu, ada tanya yang menggelayut di dalam dada—untuk apa semua ini, kalau bukan untuk saling melihat, saling menyapa, dan sejenak merasa utuh? Malam di Manahan adalah bukti bahwa kota bisa menjadi puisi, jika kita mau membaca dengan hati.