Perjalanan panjang dari Colomadu menuju Banjarnegara memeluk tubuhku dengan letih yang perlahan. Di antara tikungan jalan dan waktu yang seolah malas bergerak, aku menemukan masjid ini, di Banaran, sebuah desa yang tenang di Gemawang, Jambu, Semarang. Langit siang menggantung berat dan mata mulai memberat seperti karung gandum yang terayun pelan di pundak petani. Maka aku berhenti, singgah, mencari sedikit naungan untuk melepas penat, dan masjid ini menyambutku dengan sepi yang merangkul.
Begitu masuk, heningnya seakan meresap ke dalam kulit. Karpet merah membentang seperti samudra tenang, empuk dan wangi, menyambut langkah yang ragu. Dingin lantai menyentuh kaki, menenangkan tubuh yang dibakar panas jalanan. Cahaya masuk lewat jendela-jendela tinggi di sisi kiri, membentuk garis-garis putih di dinding, seperti lukisan yang digambar oleh waktu dan cahaya.
Mihrab menjulang di depanku. Megah dan tenang, berpadu antara kayu gelap dan motif emas yang rumit—sebuah kerja tangan yang tak dibuat buru-buru. Kaligrafi mengalir di dinding, indah dan pasti, menyanyikan pujian dalam bahasa yang tak bersuara tapi bergema jauh ke dalam hati. Mimbar kecil di sisi kanan berdiri dengan anggun, ukiran-ukirannya menyimpan banyak khutbah yang telah lewat, banyak suara yang pernah menggetarkan hati para pendengar yang diam.
Dinding putih dan krem membentuk latar yang bersih dan tenang, tak menuntut apa pun dari siapa pun. Atap tinggi dengan panel-panel berbentuk bintang delapan memberi ruang bagi angin untuk menyelinap, dan bagi pikiran untuk melayang. Tidak ada suara selain desahan angin yang tersangkut di kisi jendela, dan napas sendiri yang perlahan menyesuaikan diri dengan irama ruangan.
Di tempat seperti ini, waktu melambat. Kantuk tidak hanya datang sebagai gangguan, tapi sebagai anugerah. Aku bersandar di salah satu sisi masjid, membiarkan tubuh terlepas dari segala tujuan, dan jiwa beristirahat dari segala harapan. Sementara langit tetap berjalan di luar sana, dan jalanan kembali sibuk membawa manusia ke arah yang entah.
Masjid ini bukan sekadar tempat singgah. Ia seperti jeda dalam puisi panjang yang belum selesai kutulis. Di antara perjalanan dan tujuan, aku menemukan ketenangan yang sederhana: ruangan sunyi, karpet hangat, cahaya lembut, dan sejenak terlepas dari dunia.