Di sebuah tikungan jalan yang menanjak, saat matahari sore menebarkan cahaya emasnya ke seluruh penjuru Wonosobo, aku menemukan pemandangan yang tak biasa—sebuah monumen, tinggi dan gelap, menjulang seperti kisah yang ingin didengar. Seekor biawak raksasa membekukan langkahku, memeluk batu cadas setinggi langit kecil. Lidahnya menjulur, matanya tajam menatap jauh entah ke mana, dan tubuhnya yang penuh sisik itu seolah sedang merayapi waktu, bukan sekadar batu.
Monumen ini berdiri di atas panggung kecil berlapis paving abu-abu. Dua kursi plastik hijau diletakkan begitu saja di sisi kanan dan kiri, mungkin untuk petugas jaga atau siapa pun yang ingin sebentar duduk, membiarkan pikirannya disapu oleh bayang-bayang biawak itu. Di kedua sisi batu raksasa itu berdiri banner berwarna biru, memuat penjelasan yang tergerai dalam kalimat panjang—tertulis dalam bahasa yang mungkin tak sempat dibaca oleh siapa pun karena pandangan lebih dulu terpaku pada sosok reptil yang megah itu.
Langit Wonosobo menampakkan kemurahan hatinya hari itu. Awan bergumpal-gumpal seperti kapas yang belum dipintal, bergerak pelan, dan biru langit di kejauhan membuat siluet monumen itu tampak lebih kuat, lebih tua, seolah telah ada jauh sebelum jalan, kabel listrik, atau keramaian kecil di pasar dadakan di belakangnya. Di antara pepohonan yang menghijau di kejauhan, terlihat kehidupan desa yang sederhana, yang terus berjalan tanpa perlu tahu makna keberadaan seekor biawak raksasa di tengah persimpangan.
Di bawah monumen itu, orang-orang berdiri. Beberapa anak kecil berlarian, dua orang dewasa bersandar pelan, dan satu keluarga tampak sibuk mengatur pose untuk berfoto. Mereka kecil di hadapan makhluk itu, seperti semut di kaki patung dewa. Warung-warung di sisi kanan jalan menjual segala rupa—minuman, camilan, mainan plastik, dan kadang, kisah-kisah yang hanya bisa didengar oleh mereka yang sudi duduk dan menunggu sore tumbuh menjadi malam.
Pembatas jalan berwarna oranye terang bertuliskan “Korlantas Polri” menandai bahwa tempat ini bukan hanya persinggahan sejarah, tapi juga ruang yang harus dijaga. Jalan beraspal yang setengah rusak dan cone lalu lintas menyatu begitu saja dengan hiruk pikuk manusia, kendaraan, dan aroma gorengan yang tipis-tipis melayang dari tenda makanan di sisi kanan.
Monumen itu tidak bergerak, tapi keberadaannya terasa seperti gerak lambat dalam ingatan. Ia bukan hanya patung. Ia adalah penanda. Ia adalah cerita. Tentang tanah yang dulu dihuni makhluk-makhluk liar, tentang manusia yang hidup berdampingan dengan legenda, tentang waktu yang terus berjalan tapi tetap menyisakan tempat bagi yang ingin berhenti dan melihat.
Sore itu, aku berdiri di antara yang lalu dan yang akan datang. Di hadapan seekor biawak batu yang tak pernah tidur, tak pernah bicara, tapi seolah tahu segalanya.