Pagi, Bubur dan Stiker Iliana


Pagi masih menguap ketika aku menyusuri gang-gang kecil menuju Pasar Demangan, Gondokusuman. Udara Yogyakarta selalu punya caranya sendiri menyapa orang, seperti seorang sahabat lama yang diam-diam menanyakan kabarmu lewat angin pagi yang hangat tapi malu-malu. Tujuanku sederhana: bubur gudeg. Sarapan paling tepat untuk pagi yang masih setengah sadar ini. Aku membelinya dan membungkusnya, tentu saja. Bubur seperti ini terlalu berharga untuk dimakan di tengah hiruk pikuk pasar.

Aku juga membeli jajanan pasar. Untuk Iliana. Anakku yang masih kecil, tapi sudah mampu membuat seluruh isi jantungku bergetar seperti gamelan sore hari di pendopo desa. Arem-arem, klepon—dua nama yang seolah lahir dari dongeng masa kecil yang diceritakan ibu-ibu berselendang batik. Aku mencari susu kedelai untuk menemaninya, tapi seperti cinta pertama yang tiba-tiba pindah rumah, susu itu tak ada.

Iliana masih mengantuk. Digendong oleh Nana, istriku, perempuan paling tabah yang kutahu—tabah mencintai laki-laki sepertiku. Wajah Iliana masih terlipat-lipat seperti bantal yang baru bangun tidur. Matanya berat, tangannya menggenggam kecil, seperti sedang menyimpan rahasia mimpi yang belum selesai. Aku juga membeli jamu beras kencur. Untuk menampar tubuhku agar sadar bahwa dunia ini nyata.

Kami kembali ke Emilia Homestay. Tempat singgah kami yang sederhana, tapi cukup untuk menampung tawa-tawa kecil dan lelah yang tersimpan di telapak kaki. Aku makan sarapanku di sana, bubur gudeg yang sekarang sudah tidak hangat, tapi tetap menghangatkan.

Pukul sepuluh, setelah mandi dan membereskan kamar seadanya (yang penting seprai tidak terlihat seperti ladang yang habis panen), kami ke Cosan Coffee. Nana, seperti biasa, memesannya dengan pasti: creamy latte dengan satu shot espresso, ekstra creamy milk. Aku memilih “Himalaya”—dua shot espresso, saus caramel asin, susu. Rasanya seperti mendaki gunung tapi dengan lift. Iliana, dengan kesenangan yang sederhana, memilih cheese cake dan air mineral. Seolah dunia ini bisa diselesaikan hanya dengan dua hal itu.

Kami kembali ke Emilia, check out, pamit pada sepi yang menemani kami semalam.

Lalu kami ke Relasi Co-working Space di Mlati Sleman. Tempat itu sunyi dengan gaya modern. Kami memilih duduk di pojok dekat colokan. Aku memesan beef black pepper, Nana chicken katsu curry dengan lychee tea, dan Iliana—si putri kecil kami—memesan choco macadamia frappe, minuman yang namanya panjang tapi habisnya paling cepat. Ia tidur siang setelah itu, seperti bunga yang akhirnya menemukan musimnya.

Sore menjelang, kami ke Ambarukmo Plaza. Iliana membeli stiker—benda kecil yang bisa membuat dunia anak-anak berputar lebih cepat. Lalu senja membawa kami ke Malioboro.

Nana sholat. Aku dan Iliana menunggu. Ia bermain dengan stikernya, menempelkannya di buku kecil yang dibelinya dengan setengah rasa ingin tahu dan setengah rasa ingin memiliki. Aku melihatnya, dan di wajah kecil itu, kulihat kedamaian seperti embun di atas daun kelor. Lalu sholat di Masjid Siti Djirzanah. Dingin lantainya menyusup sampai ke tulang yang sudah menua.

Di Malioboro, Nana dan Iliana tampak sangat bahagia. Mereka tertawa, dan tawa itu seperti angin di bulan Juli—ringan tapi menggigit hati. Aku melihat mereka seperti seseorang melihat lukisan: tidak banyak bicara, tapi tak bisa berpaling.

Kami pulang ke Solo naik KRL. Di antara dentuman rel dan pengumuman stasiun, Iliana tidur memeluk Ibunya. Nana bersandar padaku, dan aku tahu: perjalanan ini, hidup ini, tidak butuh banyak hal. Hanya cinta, kopi hangat, dan seseorang yang tak keberatan kalau stikernya ditempel di pipi.