Pahit yang Menguatkan


Ah, sore ini, aku menatap secangkir kopi hitam dengan tenang. Cangkir bening itu tampak bersinar di bawah cahaya kantor yang pucat, seolah-olah ia sedang menceritakan kisahnya sendiri. Di balik uap hangat yang mengambang pelan, laptop menyala, menampilkan halaman dengan tulisan besar: CORETAX. Nama yang keras, tegas, dan barangkali tak bisa diajak berdamai oleh seorang sastrawan, tapi hari ini—aku tak sedang menjadi penyair.

Aku hanya seorang pekerja biasa, duduk di balik meja putih mengkilap, mengandalkan secangkir kopi hitam untuk menguatkan nalar. Kopi ini bukan sekadar minuman. Ia seperti teman seperjuangan yang setia, hadir saat laporan tak kunjung selesai, saat angka-angka dalam spreadsheet menari-nari seperti anak-anak kampung bermain layangan di musim kemarau. Aku hirup perlahan. Rasanya pahit, seperti kenangan lama yang tak mau pergi. Tapi justru dari pahit itulah aku menemukan semangat. Seperti kata-kata Ibu dulu, “Pahit itu bukan musuh. Ia cuma cara hidup mengajarkanmu jadi kuat.”

Di belakang layar laptop, ada secercah kehidupan lain—kolega-kolega, tumpukan tugas, janji yang menanti. Tapi di dalam cangkir ini, ada jeda. Ada damai kecil yang kutemukan di antara hiruk pikuk. Hari ini, aku menulis bukan dengan pena, tapi dengan detak. Detak hati yang mencoba bertahan, di tengah dunia yang seringkali terlalu terburu-buru. Dan secangkir kopi hitam ini, dalam diamnya, menjadi puisi paling jujur yang kupunya hari ini.