Pak Timon Pieter


Ada satu nama yang tak bisa dihapus begitu saja dari halaman-halaman kenangan kami di Kanwil DJP Jawa Tengah II, Surakarta. Nama itu: Pak Timon Pieter. Lengkap, berdenting, seperti nada dari piano.

Beliau bukan hanya seorang senior. Beliau adalah sebuah ensiklopedia berjalan yang bisa bicara, bercanda, dan sungguh ajaib, tak pernah kehabisan cara untuk membuat orang tertawa, bahkan di tengah-tengah rapat yang paling kaku sekalipun.

Ketika aku pertama kali datang ke Surakarta, dalam diam dan kikuk sebagai anak baru yang masih menata keberanian dan rasa percaya diri, beliaulah orang pertama yang datang ke kontrakanku. Aku bahkan belum sempat menaruh tikar di lantai, ketika Pak Timon datang membawa dua hal: senyum hangat dan tawa yang segera membuat tempat itu terasa seperti rumah.

Beliau teliti. Luar biasa teliti. Jika ketelitian bisa dijadikan kompetisi, mungkin Pak Timon sudah pulang dengan piala seukuran layar rapat lantai 2. Ia bisa menemukan kesalahan yang tak dilihat oleh siapa pun, bahkan oleh artificial intelligence. Namun anehnya, setiap kali ia mengoreksi, tak pernah ada rasa menggurui. Hanya ada rasa: “Aku ingin kamu jadi lebih baik.”

Pengetahuannya? Tak tertebak batasnya. Ia tahu aturan perpajakan, tentu. Tapi ia juga tahu La Galigo, juga filsafat Yunani, sampai nama ilmiah bunga di taman samping kantor. Kami sering bertanya-tanya, apakah beliau pernah tidur? Ataukah malam-malamnya dihabiskan dengan membaca buku-buku langka yang hanya tersedia di perpustakaan Kongres di Washington?

Public speaking-nya? Ah. Kalau Pak Timon berbicara, bahkan kucing liar yang lewat depan kantor pun akan berhenti dan mendengarkan. Kata-katanya seperti air sungai yang bening, mengalir rapi dan menyentuh. Pernah suatu kali dia membuka sosialisasi pajak hanya dengan kalimat: “Bapak dan Ibu, pajak itu bukan hitung - hitungan saja, tapi juga cinta negara yang diwujudkan dalam lembar SPT.” Seisi ruangan langsung diam. Termasuk aku.

Namun, di balik semua kehebatannya, Pak Timon adalah sumber candaan nomor satu di lantai kami. Kami semua pernah jadi korban candanya. Tapi anehnya, kami semua justru menantinya. Sebab di kantor ini, tawa adalah bagian dari kerja. Dan Pak Timon, entah bagaimana, membuat semuanya terasa lebih ringan.

Kini, beliau akan berangkat ke Jakarta, dipindah tugaskan ke kantor pusat. Sebuah mutasi yang pantas, ke tempat seharusnya, seperti bintang yang akhirnya kembali ke langit tertingginya. Kami bangga, tentu. Tapi juga kehilangan, tentu.

Namun kami tahu, seperti kebiasaan Pak Timon yang tak pernah lupa mengucap: “Santai aja, yang penting niat baiknya dapet!”, ia pasti akan membawa Surakarta dalam hatinya ke Jakarta. Dan seperti biasa, di mana pun ia berada, ia akan tetap jadi yang paling teliti, paling tahu, paling menghibur.

Terima kasih, Pak Timon. Untuk ilmu, tawa, dan teladan yang tak akan pernah selesai kami bicarakan di ruang kerja. Selamat bertugas di Jakarta. Jangan lupa main ke Manahan. Masih ada teh manis di sana, dan banyak cerita yang menunggumu kembali.