Pagi turun pelan-pelan di Surakarta, seperti daun kering yang jatuh tanpa suara. Udara masih basah oleh sisa embun semalam, dan langit menggantung rendah seolah belum selesai bermimpi. Jalanan belum terlalu ramai, hanya beberapa sepeda motor melintas malas, menyeret suara knalpotnya di antara deru angin pagi.
Langkah kaki membawaku ke sebuah warung soto di sudut Klodran. Bangunannya sederhana, dindingnya dicat kuning cerah, serupa matahari yang belum sepenuhnya percaya diri. Di dalam, suasana sudah hidup. Dapur terbuka di pojok ruangan mengepulkan uap dari panci besar, aroma kaldu menyelinap ke seluruh penjuru ruang, dan lantai keramik memantulkan cahaya pagi yang masuk dari sela-sela atap.
Meja kayu panjang menanti tanpa tergesa. Permukaannya sedikit kasar, dengan bekas-bekas cakar waktu yang tak bisa disembunyikan. Di atasnya, semangkuk soto mengepulkan uap, sendok sudah menyentuh kuah, seolah tak sabar memulai cerita. Di sisi lain, gelas teh bening berisi cairan cokelat kemerahan, hangat, dan sabar menunggu diseruput.
Di sampingku duduk seseorang yang lama tak kutemui. Wajahnya tenang, tubuhnya bersandar ringan pada sandaran kursi. Ia mengenakan kaos hitam dengan lambang putih di dada dan jam melingkar di pergelangan tangannya. Tatapannya lurus, senyumnya tipis, seperti seseorang yang tahu bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.
Aku duduk di sisi kirinya, dengan kaos abu-abu yang sederhana. Tak banyak yang kami lakukan—hanya duduk dan mengenang, membiarkan waktu diam di antara kami. Tapi justru dalam diam itulah, perasaan-perasaan yang tak perlu didefinisikan tumbuh pelan-pelan seperti rumput liar di sela-sela batu.
Di belakang kami, rak kaca tua memajang mangkuk, botol sambal, dan piring-piring kecil. Dapur terbuka memperlihatkan para pekerja yang bergerak cekatan, dan kipas angin tua menggantung di langit-langit, berputar pelan seperti kenangan yang malas tapi setia.
Tak ada kata yang dicatat, tak ada peristiwa besar yang terjadi. Hanya sebuah pagi, semangkuk soto, dan pertemuan yang sederhana tapi penuh. Hari ini, hidup terasa utuh tanpa perlu penjelasan. Dia Pak Markus—orang yang kuanggap seperti bapakku sendiri di Banjarbaru, kantor lamaku sebelum aku pindah ke Surakarta.