Plesan


Matahari siang itu menggantung rendah, seperti lukisan anak-anak yang jujur dan tanpa presisi, terang tapi tak menakutkan. Kami berdiri di bawah papan bertuliskan Kidoland, sebuah suaka kecil yang menjanjikan lebih dari sekadar taman bermain. Aku pikir, mungkin tempat ini diciptakan bukan semata untuk anak-anak berteriak riang, tapi untuk orang dewasa yang ingin mengingat: bahwa pernah, mereka juga kecil.

Dalam potret ini, kami berhenti sejenak dari arus waktu yang tak henti. Aku tersenyum, mungkin dengan sedikit rasa lega, karena di dunia yang digerakkan oleh algoritma dan kecemasan akan masa depan, kami masih bisa duduk bersama, bersentuhan tawa, tanpa ponsel di tangan.

Anak-anak dalam gambar ini belum tahu tentang perang, pajak, atau absurditas politik identitas. Mereka hanya tahu bahwa hari ini menyenangkan karena ada indomie, ayunan, dan orang dewasa yang mau membopong mereka meski punggungnya pegal. Seseorang mungkin akan berkata bahwa kita hanyalah mamalia dengan khayalan kolektif, menciptakan makna dari hal-hal yang tak ada secara objektif. Tapi aku lebih suka percaya bahwa makna bisa ditemukan dalam hal sederhana, sebuah bangku taman, sandal jepit yang tak serasi, atau tawa anak yang belum belajar apa itu kesedihan.

Aku tidak tahu siapa yang akan melihat foto ini di masa depan. Tapi kalau ada, semoga mereka tahu: kami pernah ada, kami pernah bahagia, dan kami memilih untuk mengabadikan momen bukan demi algoritma, tapi demi hati kami sendiri. Dan di balik semua itu, barangkali inilah yang disebut manusia, makhluk rapuh yang dengan gigih terus mencari cara untuk mengingat, mencinta, dan mengerti.