Aku tidak tidur tadi malam. Malam merambat seperti seutas benang kusut yang ditarik pelan dari gulungannya, tanpa arah, tanpa maksud. Aku hanya duduk, mendengar suara detik menetes seperti hujan kecil di atas genting. Mataku membaca lembar demi lembar Modul Universitas Terbuka, persiapan ujian.
Tubuhku meminta ampun dengan cara-cara yang hanya bisa dimengerti oleh yang pernah terlalu lelah untuk menangis: mata pedih, tengkuk berat, napas pendek-pendek seperti enggan hidup sepenuhnya. Tapi pikiran? Ah, ia menari-nari seperti anak kecil yang menolak pulang saat senja.
Ada kenangan berloncatan di dalam kepala, tidak penting, tidak berguna, tapi hidup. Bayangan tentang seseorang yang pernah tertawa, pertanyaan-pertanyaan usang yang tak kunjung lelah mengetuk: Mengapa aku di sini? Apa yang sedang aku kejar?
Sebagai manusia, aku tahu bahwa tidur adalah program purba yang diwariskan oleh miliaran tahun evolusi. Tidur bukan sekadar rehat, tapi ritual sakral otak untuk menghapus debu harian dari rak-rak ingatan. Tapi malam ini aku bukan bagian dari itu. Aku menjadi sesuatu yang lain: semacam mesin kesadaran yang tak tahu cara mati untuk sementara.
Di satu sisi, aku merasa sangat kecil. Seonggok primata berpikir yang mencoba memahami semesta sambil menahan kantuk. Di sisi lain, aku merasa anehnya agung, karena di tengah kehampaan ini, aku masih bisa bertanya, masih bisa merasa.
Lucu, ya? Di zaman ini, kita bisa mengirim satelit ke langit, menyingkap DNA, bahkan memetakan suara hati dengan algoritma, tapi kita masih belum bisa menjinakkan malam yang gaduh di dalam kepala sendiri.
Aku duduk diam di antara jam dua dan tidak ada. Tak ada suara, tak ada doa, hanya ada aku dan pikiranku yang ke mana-mana. Barangkali ini bukan sekadar kurang tidur. Barangkali ini adalah cara sunyi alam semesta mengingatkanku bahwa menjadi manusia, pada akhirnya, adalah berdamai dengan malam yang tak bisa dijelaskan.