Secangkir Swargi


Pagi menyelinap masuk lewat sela-sela tirai kantor, mengguratkan cahaya tipis di permukaan meja putih yang dingin. Seperti biasa, komputer menyala lebih dulu daripada semangatku. Suaranya berdengung pelan, seolah mengeluh karena harus bekerja lagi. Kabel-kabel menjalar di sekitarnya seperti akar-akar dari pohon yang tumbuh tanpa arah.

Tapi pagi ini berbeda. Ada sesuatu yang datang bersamaku ke meja ini. Sebuah cangkir kertas berwarna coklat muda, tampak remeh, tapi mengandung semacam rahasia yang hanya diketahui oleh mereka yang pernah menyeruput isinya. Di tubuh cangkir itu tertulis nama yang aneh tapi indah: The Hidden Swargi.

Aku tidak tahu pasti apa itu Swargi. Tapi kata itu terdengar seperti sesuatu yang hanya bisa disentuh oleh hati yang tenang. Aroma dari cangkir itu menyebar perlahan—hangat, tajam, dan bersahabat. Warnanya hijau, seperti lumpur sawah yang menyembunyikan kehidupan di dalamnya.

Aku menyeruput pelan. Rasanya… seperti pagi yang jujur. Tidak manis, tidak memaksa, tapi nyata. Ada pahit yang menenangkan, seperti pelukan diam dari seseorang yang mengerti tanpa perlu bertanya.

Seketika ruang kantor yang kaku ini berubah. Dinding putih menjadi langit luas. Layar laptop menjadi jendela ke tempat-tempat yang belum sempat kudatangi. Dan meja ini, yang biasanya cuma jadi tempat berkas dan keluhan, mendadak terasa seperti beranda rumah yang tenang.

Aku duduk diam, mendengarkan detak jam yang berlari seperti selalu, tapi kali ini aku tidak ikut terburu-buru. Cangkir itu belum habis, dan rasanya seperti waktu pun ikut melambat. Mungkin ini yang disebut Swargi—sebuah ketenangan kecil yang tersembunyi di antara kesibukan dan lelah.

Dan pagi itu, tanpa perlu pergi ke mana-mana, aku menemukan sepotong surga dalam secangkir hijau yang tidak banyak bicara.