Pagi itu, langit masih seperti kain batik yang baru dijemur—biru, harum, dan sedikit berkerut. Angin menggelitik dedaunan, dan jalanan kecil di depan rumah kami tampak lebih bersahabat dari biasanya. Aku mengajak Iliana, anakku, naik Honda Scoopy kami yang berwarna pink muda, warna yang tak akan dipilih oleh lelaki seumuranku, kecuali jika lelaki itu telah dikalahkan oleh cinta anak perempuannya. Aku telah kalah total.
Kami berdua berpose di samping motor itu—Iliana dengan senyumnya yang masih setengah mengantuk, aku dengan pose yang pura-pura keren tapi gagal karena kantong mataku lebih besar dari semangat pagi. Setelah itu kami berjalan-jalan pelan, seperti orang-orang yang tidak dikejar waktu, hanya dikejar rasa ingin tahu.
Siangnya, matahari menyengat seperti nenek tetangga yang cerewet tapi menyayangi. Aku mengunjungi seorang penjahit. Tempatnya sederhana, beratapkan bambu, dengan meja kerja dari kayu tua yang tampaknya sudah menyimpan lebih banyak cerita dari buku harian siapa pun. Mesin jahitnya—tua, berisik, dan setia. Tangannya cekatan, suaranya pelan, tapi matanya penuh sorot orang yang pernah melawan nasib dan tidak kalah.
Kami bercakap. Awalnya basa-basi, lalu berubah menjadi kisah hidup. Ia bercerita tentang perjuangan mencari uang, tentang anak-anaknya, tentang baju yang pernah dijahitnya untuk pengantin yang tak jadi menikah. Kami langsung akrab, seperti dua orang sahabat yang lupa kalau baru bertemu. Ada semacam keikhlasan di udara, dan aku merasa diberkati bisa bertemu orang seperti dia.
Malam turun perlahan, seperti tirai di panggung teater tua. Aku pergi ke wedangan sahabat. Tempat itu tidak terlalu terang, diterangi lampu gantung yang cahayanya seperti pelukan—lembut dan sedikit melankolis. Ada bau arang, bau nasi kucing, dan tawa-tawa kecil dari orang-orang yang datang bukan sekadar untuk makan, tapi untuk merasa ditemani oleh malam.
Aku membeli sate usus, sate kulit, sate telur puyuh—semuanya kecil, tapi seperti kehidupan, mereka punya rasa yang tidak bisa diremehkan. Wedang jahenya enak, hangatnya sampai ke pikiran. Aku juga membeli kolang-kaling untuk Iliana. Kukemas semuanya, kubawa pulang.
Di rumah, hidangan telah menunggu. Nasi ayam pedas ala Korea buatan Nana. Disajikan dalam mangkuk, seperti makanan dalam drama-drama yang sering ia tonton sambil sesekali menangis tanpa alasan jelas. Ada selada, irisan tomat, dan mentimun. Warna-warni yang membuat makanan ini terlihat seperti lukisan yang bisa dimakan.
Aku tambahkan sate-sate dan kolang-kaling dari wedangan sahabat tadi ke pinggir piring, sebagai pelengkap. Rasa pedas ayam bercampur dengan manis gurih sate usus—perpaduan aneh, tapi justru itulah hidup: campur aduk, tidak selalu cocok, tapi ketika diterima apa adanya, bisa membuatmu kenyang dan bersyukur.
Dan malam pun berjalan tenang. Lampu kamar redup, Iliana sudah tertidur sambil memeluk bonekanya. Nana menyandarkan kepala di bahuku. Di luar, sepeda pink kami terparkir diam, menunggu pagi esok yang entah membawa cerita apa lagi.