Sore itu, langit seperti habis mandi, bersih dan berkilau, dengan awan-awan berwarna merah jambu yang melayang malu-malu. Aku berdiri di tepi jalan yang lengang, jalan yang rasanya pernah kulalui entah berapa ribu kali, tapi sore ini ia berbeda. Barangkali karena cahaya jingga yang jatuh tepat di ujung menara masjid, membuatnya tampak seperti lilin besar yang menyala di tengah kota kami. Atau mungkin karena udara sore yang membawa aroma debu dan doa dari rumah-rumah tua di sepanjang jalan.
Tak ada suara selain dengungan kabel listrik yang menggantung seperti syaraf-syaraf langit, menghubungkan kehidupan dari satu sudut ke sudut lain. Penjual gorengan di pojok jalan duduk bersandar pada gerobaknya, dan anak-anak tak lagi tampak, barangkali mereka sudah pulang, atau sedang menunggu maghrib di surau. Aku menyusuri trotoar yang pecah-pecah itu perlahan, sambil membiarkan kenangan datang seenaknya: suara tawa kawan lama, sepeda tua, dan surat cinta yang diselipkan di antara lembar-lembar buku.
Hari mulai meredup. Lampu lalu lintas di ujung jalan berganti warna seakan mengikuti irama langit. Tapi tak ada yang terburu-buru di kota ini. Waktu seolah berjalan dengan sandal jepit, malas dan penuh jeda. Di saat seperti ini, aku merasa kota ini mencintaiku dalam diamnya. Seperti sahabat lama yang tak perlu bicara, cukup duduk bersama dalam senyap dan tahu: bahwa kita sama-sama masih di sini, menunggu malam.