Tugu Boto


Aku tak pernah berniat berhenti di Klodran. Sore itu aku sedang menempuh perjalanan tanpa arah pasti, pelan menyusuri jalan-jalan kampung yang lengang, menyerap aroma tanah sehabis hujan dan suara-suara kecil yang muncul dari balik dinding rumah-rumah papan. Tujuanku sebenarnya sederhana: mencari kesunyian yang tidak sunyi, mencari tempat yang tidak dicari orang. Dan entah bagaimana, aku sampai di sebuah simpang jalan kecil yang dikepung angin sore dan pohon peneduh yang tampak tua—seperti sepasang mata tua yang melihat segalanya dengan sabar. Di sanalah aku melihatnya untuk pertama kali.

Tugu. Dua. Masing-masing berdiri kaku seperti orang tua yang saling menatap tapi tidak bicara. Mereka tidak megah. Tidak tinggi. Tidak tampak penting. Namun entah mengapa, keberadaan mereka mematahkan lajuku begitu saja. Keduanya dibangun dari bata merah. Tersusun dalam bentuk trapezium, sederhana, jujur, dan sunyi. Tidak ada tulisan peresmian. Tidak ada nama arsitek. Tidak ada plakat yang menjelaskan siapa yang memerintah, siapa yang memikirkan, atau mengapa mereka ada. Tapi justru karena ketidakhadiran itulah aku merasa tertarik. Dalam dunia yang begitu sibuk mencatat siapa yang membuat apa, tugu ini memilih diam. Dan dalam diamnya, ia seperti memintaku untuk mendengarkan.

Aku duduk di pinggir jalan, tepat di antara kedua tugu. Tak ada kendaraan lalu-lalang selain seorang anak kecil yang berlari sambil menggiring ban bekas, dan seorang lelaki tua dengan keranjang rotan di punggungnya. Matahari perlahan merayap turun di balik genteng rumah warga. Tak ada yang istimewa, tapi hatiku menghangat. Aku tak tahu siapa yang membangunnya, tapi aku tahu siapa yang tidak: bukan penguasa, bukan kontraktor. Ini dibangun oleh cinta yang tidak punya nama di nota anggaran.

Seseorang akhirnya menghampiriku, seorang lelaki setengah baya dengan wajah bersahabat dan logat Jawa yang lembut. Ia bilang bahwa tugu ini dibangun puluhan tahun silam, pada masa-masa di mana tanah dan hati orang kampung sedang remuk oleh ketakutan. Tahun 1966, katanya, waktu keadaan politik negeri ini seperti sungai yang meluap tak tentu arah. Di tengah situasi itu, warga Klodran berniat membangun kantor desa. Tapi niat itu, seperti banyak niat baik di negeri ini, harus kandas karena hal-hal di luar kuasa rakyat kecil. 

Maka mereka tak jadi membangun kantor. Tapi mereka juga tak ingin tenaga dan harapan itu menguap. 

Lalu lahirlah ide: bangun saja tugu. Sebuah lambang. Sebuah tanda bahwa semangat itu pernah ada. Dan mereka membangunnya bukan dengan anggaran negara, tapi dengan keringat sendiri. Setiap keluarga menyumbang 500 buah bata mentah. Mereka datang dengan pasir, batu sungai, semen yang dibeli dari hasil iuran dan sayur kebun.

Tiba-tiba, tugu itu menjadi hidup bagiku. Bukan sebagai bangunan, tapi sebagai surat terbuka. Surat dari masa lalu kepada masa depan, ditulis dalam bahasa gotong royong, dalam aksara tangan yang lelah tapi ikhlas. Tak ada satu pun dari mereka yang membangun tugu itu yang mengira bahwa puluhan tahun kemudian, seorang asing dari kota akan duduk memandangi hasil kerja mereka dengan mata berkaca.

Malam turun perlahan. Lampu jalan menyala malu-malu. Dari warung kecil di tikungan, harum wedang jahe dan ronde mengambang di udara, menarikku untuk mendekat. Di sana, aku bertemu seorang pemuda yang bercerita bahwa tugu itu hampir dibongkar ketika jalan hendak diperlebar. Tapi warga menolak. Tugu ini terlalu berharga, katanya. Jadi mereka tak membongkarnya. Mereka menggeser salah satunya—dengan hati-hati, dengan kesepakatan, dan dengan rasa hormat seolah sedang memindahkan makam nenek moyang.

Aku tidak menyeruput wedang ronde dan menatap kembali ke arah tugu. Kini aku mengerti: bangunan ini bukan tentang siapa yang membangunnya, tapi tentang apa yang ditinggalkannya. Ia tidak berdiri untuk dipuja, tapi untuk dikenang. Ia tidak memerlukan pelancong, tapi siapa pun yang punya waktu untuk mendengar cerita tanah. Dan malam itu, aku—seorang asing yang tersesat di peta yang tak ada di Google—menjadi bagian kecil dari kisahnya. Aku datang tanpa nama. Tapi tugu itu, meski diam, seperti berkata: kau boleh datang tanpa nama, tapi pulanglah dengan cerita.