Dari balik kemudi sepeda tua yang telah menemani perjalanan ribuan kilometer ini, mataku menatap jalan raya yang membentang lurus menuju cakrawala. Matahari pagi baru saja naik, memancarkan cahaya emas yang membelai hamparan sawah hijau di kiri-kanan, seperti permadai alam yang tak pernah lelah menceritakan kisah manusia dan tanah. Dan aku, entah mengapa, merasa kecil di hadapan luasnya dunia yang baru terbangun ini.
Sepeda motor-sepeda motor kecil melintas di hadapan, membawa mimpi-mimpi segar pengendaranya yang mungkin menuju sawah untuk memulai hari, atau ke pasar subuh, atau sekadar berkelana mencari makna dalam rutinitas pagi yang baru dimulai. Mereka adalah saksi bisu revolusi transportasi yang mengubah peradaban desa, dari jaman kaki telanjang menempuh jarak bermil-mil di embun pagi, kini mesin kecil berkapasitas 100cc mampu memperpendek ruang dan waktu. Tapi apakah jarak yang diperpendek itu juga memperpendek jarak antara hati dan kebahagiaan di pagi yang penuh harapan ini?
Kabel-kabel listrik yang menjuntai di atas kepala seperti saraf raksasa menghubungkan rumah-rumah sederhana dengan dunia modern. Inilah paradoks zaman: di tengah sawah yang masih ditanami dengan cara tradisional, teknologi merambah masuk, mengubah cara manusia berkomunikasi, berpikir, bahkan bermimpi. Aku bertanya dalam hati, apakah kita masih ingat cara menyapa pagi dengan doa syukur?
Angin pagi yang sejuk menerpa wajah, membawa aroma tanah basah dan embun yang menetes dari padi, bau yang sama yang dihirup nenek moyang kita ribuan tahun silam di setiap subuh. Aku mengayuh pelan, merasakan setiap putaran roda sebagai metafora perjalanan manusia, kadang mudah di jalan mulus yang basah embun, kadang terjal di tanjakan kehidupan. Di sinilah aku menyadari bahwa kemajuan bukanlah soal seberapa cepat kita bergerak, melainkan seberapa dalam kita memahami setiap langkah yang kita ambil. Dan kadang, berhenti untuk menatap matahari terbit adalah pilihan paling bijak.
Daerah ini, dengan segala kesederhanaannya, menyimpan kebijaksanaan yang telah teruji ribuan tahun, bahwa kebahagiaan sejati terletak pada keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara bergerak maju dan tetap berakar. Seperti pohon besar di tepi jalan itu, yang dahannya menyambut cahaya pagi tapi akarnya memeluk bumi dengan setia sejak pagi pertama dunia.