Malam itu, di sudut kecil Wedangan Sahabat, Iliana duduk di seberangku dengan senyum yang bisa meruntuhkan segala bentuk logika. Ia tak sedang berpose, tak sedang berpura-pura ceria untuk siapa pun. Ia hanya… menjadi dirinya sendiri. Dan dari tempatku duduk, melihat senyumnya yang lebar dan polos, aku merasa seperti menemukan kembali definisi manusia yang telah lama hilang dalam buku sejarah, mesin pencarian, dan rutinitas.
Iliana, anakku. Sejak ia hadir, waktu terasa punya dimensi baru. Detik bukan sekadar hitungan menuju tenggat, tapi ruang untuk melihatnya tumbuh, tertawa, merengek, lalu tertawa lagi. Ia duduk di bangku plastik merah—yang entah kenapa tampak seperti singgasana malam itu. Wajahnya menyala oleh lampu warung dan tawa yang meletup dari perasaan gembira yang begitu murni, seperti mata air pertama yang ditemukan manusia purba.
Kupandangi ia, dan dalam senyum itu aku melihat evolusi. Bukan evolusi biasa, melainkan evolusi dari diriku—yang dulu hanya hidup untuk mengejar, kini hidup untuk menemani. Untuk menjadi saksi dari tiap helai rambutnya yang bertambah, tiap kalimat baru yang ia pelajari, tiap tawa yang ia lepaskan ke langit seperti doa.
Ia adalah paradoks: makhluk kecil yang membuat dunia begitu besar terasa sederhana. Seolah masa depan tak lagi menakutkan, selama aku bisa menggenggam tangannya. Iliana tidak sedang mengajari apa pun padaku secara sadar. Tapi dari cara ia menyeringai dengan gigi-gigi mungil yang belum sempurna, ia seperti menyampaikan bahwa kebahagiaan tidak butuh alasan. Ia hanya perlu ruang.